“Sadarlah, bahwa nasionalisme, budaya dan agama telah sedikit demi sedikit tergerus dalam hati anak bangsa ini dengan berbagai cara.”
Paradoks Teknokrasi dalam Demokrasi Kita
Belajarlah dari Israel, ketika rakyatnya hanya sok-sokan mengandalkan kecanggihan alat perangnya kemudian melahirkan tentara cengeng, tentara popok yang menangis ketika dalam tekanan serangan Iran. Karena apa? Jawabannya, karena baik rakyatnya, tentaranya, juga pemimpinnya telah tercabut dalam hatinya agama, budaya dan nasionalisme. Mereka lebih baik kabur ketimbang berjuang membantu negaranya. Dasar pengecut !!!
Beruntunglah, negara kita tidaklah seperti Israel. Di sini budaya masih dipertahankan walau tergerus. Di sini agama masih bertahan walau kebanyakan diisi dengan keributan aturan agama dan bukan pendekatan diri pada Tuhan.
Berikut akan kami sajikan sebuah refleksi kenegaraan dari sisi teknokrasi yang patut kita cermati bersama:
Refleksi 36 Hari Menjelang HUT ke-80 Kemerdekaan RI
GWS, 12 Juli 2025
Coba, bayangkan sebentar: Anda sedang duduk di ruang kerja Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie di awal 1990-an. Di atas meja kerja berserakan blueprint, peta Selat Singapura, dan dua balon karet yang tampak aneh. Dengan mata berbinar khas insinyur yang sedang excited menjelaskan desainnya, Habibie mengambil kedua balon itu.
“Lihat, Pak,” katanya sambil menekan balon pertama yang bertuliskan ‘Singapore’. “Kalau ini tertekan terus karena overcapacity, maka otomatis yang ini,” ia menunjuk balon kedua bertuliskan ‘Batam’, “akan mengembang. Hukum fisika sederhana: tekanan akan mencari jalan keluar ke tempat yang resistensinya lebih rendah.”
Itulah teori dua balon Habibie—sebuah pendekatan engineering yang melihat kawasan Singapura-Batam bukan sebagai dua wilayah terpisah, tapi sebagai satu sistem terintegrasi yang saling melengkapi. Singapore dengan segala keterbatasan lahannya akan mencari outlet untuk industri manufaktur dan logistik. Batam, dengan tanah luas dan tenaga kerja berlimpah, bisa menjadi “balon” yang mengembang menampung overflow tersebut.
Tapi kemudian ada yang bertanya, “Pak, ini kan pendekatan yang bagus. Tapi siapa yang akan memutuskan implementasinya? Bappenas yang merancang, atau Kemenkeu yang pegang duit?”
Habibie terdiam sejenak, menyadari bahwa teori engineering terbaik sekalipun harus berhadapan dengan realitas birokrasi dimana financial logic sering mengalahkan planning logic. Di sinilah letak paradoks teknokrasi Indonesia: punya visi jenius, tapi struktur kekuasaan yang tidak mendukung.
Dualisme Ekonom vs Insinyur
Sejarah Indonesia dengan teknokrasi sebenarnya seperti cerita Si Kabayan yang menemukan harta karun: kadang beruntung luar biasa, kadang malah terjebak dalam lubang sendiri. Namun yang menarik, teknokrasi Indonesia sejak awal memiliki dua wajah yang berbeda: ekonom versus insinyur.
Era Suharto dengan “Berkeley Mafia“-nya menunjukkan betapa dahsyatnya kekuatan teknokrasi ekonomi ketika diberi ruang dan dukungan politik penuh. Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan—Ali Wardhana, Emil Salim, Moh Sadli—tidak perlu kampanye di pasar atau berjabat tangan dengan pedagang kaki lima untuk membuktikan kredibilitas mereka. Mereka berbicara dengan data, berargumen dengan model ekonomi, dan menghasilkan kebijakan yang terukur. Pertumbuhan ekonomi 6.85% per tahun selama tiga dekade, inflasi yang berhasil ditekan dari hiperinflasi menjadi sekitar 10% per tahun—prestasi yang pada masa itu setara dengan mukjizat ekonomi.
Namun, di balik dominasi ekonom Berkeley, muncul kelompok teknokrat yang berbeda: para insinyur yang dipimpin B.J. Habibie. Jika ekonom Berkeley bicara dengan angka pertumbuhan, Habibie dan timnya bicara dengan blueprint pesawat, pabrik, industri, teknologi, nilai tambah. Rivalitas kedua kelompok ini bahkan menciptakan istilah yang terkenal: “Widjojonomics vs Habibienomics“—pertarungan paradigma antara stabilitas ekonomi makro versus lompatan teknologi industri.
Habibie, dengan gelar doktor ingenieur konstruksi pesawat dari Jerman, membawa visi “Negara Teknologi” yang ingin mengangkat Indonesia dari sekadar pengekspor komoditas menjadi produsen teknologi tinggi. IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara), BPPT, dan berbagai industri strategis lainnya adalah wujud konkret dari teknokrasi insinyur yang bermimpi membuat Indonesia seperti Jepang atau Korea Selatan.
Yang ironis, kedua kelompok teknokrat ini sama-sama menggunakan “excavator berlisensi” untuk menggali kekayaan negara. Berkeley Mafia menggali untuk pertumbuhan ekonomi, kelompok Habibie menggali untuk industri strategis. Keduanya berhasil menciptakan kemajuan luar biasa, namun juga meninggalkan lubang-lubang korupsi yang dalam. Ketika krisis 1997-1998 melanda, seluruh bangunan ekonomi dan industri yang tampak kokoh itu runtuh seperti kartu domino. Ternyata, kehebatan teknokrasi—baik ekonom maupun insinyur—tanpa pengawasan demokratis memiliki tanggal kedaluwarsa.
Habibie: Puncak Teknokrasi Insinyur
B.J. Habibie muncul sebagai antitesis sekaligus kelanjutan tradisi teknokrasi Indonesia. Ketika krisis moneter membuat ekonomi Indonesia seperti kapal yang bocor di tengah samudra, Habibie—dengan latar belakang engineer Jerman—memilih menggunakan pendekatan teknokratis ketimbang populis. Dalam periode singkat 1998-1999, ia berhasil menstabilkan ekonomi yang sempoyongan: pertumbuhan ekonomi meningkat dari -7% menjadi 13%, nilai tukar rupiah menguat dari Rp. 17.000 menjadi Rp. 7.000 per USD.
Yang menarik dari era Habibie adalah bagaimana seorang teknokrat berhasil menjalankan agenda teknokratis sambil membuka keran demokrasi. Ia membuktikan bahwa teknokrasi dan demokrasi tidak selalu bertentangan seperti air dan minyak. Malahan, keduanya bisa bersinergi seperti campuran es campur yang menyegarkan—asalkan ada takaran yang tepat. Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang diluncurkannya menunjukkan bahwa kebijakan teknokratis bisa memiliki wajah manusiawi tanpa kehilangan efektivitasnya.
Habibie adalah presiden Indonesia kedua yang berlatar belakang insinyur, setelah Bung Karno yang juga lulusan teknik sipil dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB). Namun jika Soekarno lebih dikenal sebagai founding father dan ideolog, Habibie adalah teknokrat insinyur sejati yang menerapkan pendekatan engineering dalam pemerintahan. Era kepresidenannya menandai puncak sekaligus—mungkin—akhir dari masa teknokrasi insinyur dalam politik Indonesia. Setelah Habibie, Indonesia kembali kepada pola dominasi ekonom, politikus, dan militer, meninggalkan tradisi para pemimpin berlatar belakang teknik.
SBY dan Orkestra Teknokrasi Demokratis
Era Susilo Bambang Yudhoyono menandai eksperimen paling ambisius Indonesia dalam mengawinkan teknokrasi dengan demokrasi. Dengan mengangkat Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan dan Boediono sebagai Wakil Presiden, SBY mencoba menciptakan semacam “orkestra teknokrasi demokratis”—di mana expertise bertemu dengan akuntabilitas publik.
Hasilnya? Lumayan menggembirakan, seperti nonton pertandingan Indonesia melawan Malaysia yang akhirnya menang dengan skor tipis. Pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 5.8-6.0% per tahun, rasio utang terhadap PDB turun dari 56% menjadi 23%, dan pendapatan per kapita meningkat dari $1.188 menjadi $3.490. Indonesia bahkan menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua setelah China sejak 2009—prestasi yang tidak main-main.
Namun, seperti lagu dangdut yang enak didengar tapi liriknya sering diulang-ulang, teknokrasi era SBY juga memiliki kelemahan: terlalu hati-hati, terlalu konsensus, dan kadang-kadang terlalu lamban dalam mengambil keputusan. Sri Mulyani, misalnya, meski diakui kompetensinya, harus menghadapi resistensi politik yang akhirnya memaksanya hijrah ke Bank Dunia. Ternyata, dalam demokrasi, being right tidak selalu sama dengan being politically viable.
Pasca-Habibie: Hilangnya Teknokrasi Insinyur
Periode setelah Habibie menunjukkan fenomena yang menggelitik: hilangnya peran insinyur sebagai teknokrat berdasarkan keahlian teknis mereka. Memang, era Megawati, SBY, hingga Jokowi masih memiliki menteri-menteri bergelar insinyur di kabinet mereka. Namun, mereka diangkat bukan karena expertise keinsinyurannya, melainkan karena pengalaman politik, manajerial, atau kedekatan personal dengan presiden.
Inilah perbedaan mendasar antara teknokrat insinyur seperti Habibie—yang diangkat spesifik karena kemampuan teknisnya merancang pesawat dan membangun industri strategis—dengan politikus atau manajer yang kebetulan bergelar insinyur. Yang pertama menggunakan cara berpikir engineering untuk memecahkan masalah negara, yang kedua menggunakan cara berpikir politik konvensional meski berbekal ijazah teknik.
Seperti perbedaan antara mengangkat chef untuk memasak karena ia ahli kuliner, dengan mengangkat seseorang yang kebetulan pernah sekolah kuliner tapi bekerja sebagai manajer restoran selama puluhan tahun. Teknik dan pengalaman praktisnya sudah berbeda jalur.
Ironinya, di saat Indonesia kehilangan tradisi teknokrasi insinyur yang sejati, negara-negara tetangga justru semakin mengandalkan engineer-turned-leader yang benar-benar mengaplikasikan thinking process engineering dalam pemerintahan. Ini seperti cerita orang yang menjual kambing untuk membeli rumput—kita melepas tradisi berharga di saat yang salah.
Pelajaran dari Tetangga
Bandingkan dengan Singapura, negara kecil yang tak memiliki sumber daya alam namun berhasil menjadi hub teknologi Asia. GovTech Agency Singapura memiliki 640 engineers, coders, dan hackers yang bekerja langsung untuk pemerintah—dan ini hanya sepertiga dari total ICT engineers di sektor publik mereka. Yang mengagumkan bukan hanya jumlahnya, tapi output teknokratik mereka: aplikasi SingPass yang terintegrasi, sistem TraceTogether untuk Covid-19, platform CODEX yang menjadi ‘prioritas strategis nasional’ hingga diawasi langsung PM Office.
Indonesia mungkin juga memiliki ribuan insinyur di berbagai kementerian dan BUMN. Tapi pertanyaannya: di mana karya teknokratik mereka yang mengubah cara governance Indonesia bekerja? Di mana inovasi sistemik yang membuat pelayanan publik lebih efisien? Di mana breakthrough yang membuat Indonesia menjadi rujukan regional dalam digital governance?
Ini seperti perbedaan antara memiliki banyak koki di dapur tapi hanya menghasilkan indomie, dengan memiliki lebih sedikit koki tapi menghasilkan menu michelin star. Kuantitas tanpa output yang memberikan makna berbeda hanyalah ilusi produktifitas.
Masalahnya bukan tidak ada insinyur di pemerintahan Indonesia, tapi kultur birokrasi yang tidak mendorong proses berpikir sebagai insinyur terpakai pada sistem problem-solving pemerintahan. Insinyur kita terbiasa bekerja menggunakan sistem yang mengutamakan prinsip, prosedur ketimbang hasil. Tidak buru-buru jumping to conclusion!
Lebih fundamental lagi, struktur kekuasaan dalam pemerintahan Indonesia tidak mendukung teknokrasi yang efektif. Lihat saja dinamika antara Bappenas dan Kementerian Keuangan: Bappenas bertugas merencanakan dengan pendekatan teknokratis, sementara Kemenkeu mengelola anggaran. Pada praktiknya, default keputusan bukan pada perencana (Bappenas) tapi pada penganggaran (Kemenkeu).
Program sekeren apapun yang dirancang teknokrat di Bappenas, jika tidak “lolos” logika fiscal conservatism Kemenkeu, ya berhenti. Ini seperti memiliki arsitek jenius tapi tukang bangunannya yang menentukan mau bangun apa.
Bandingkan dengan Korea Selatan atau Singapura, dimana strategic planning agency memiliki political weight yang lebih menentukan dan bisa override departemen keuangan dalam proyek-proyek strategis jangka panjang. Mereka paham bahwa dalam era transformasi teknologi, visi keinsinyuran dalam melihat masa depan harus didahulukan, hambatan fiskal yang harus dicarikan jalan keluarnya.
Korea Selatan memberikan contoh yang lebih menarik lagi. Yang Hyang-ja, veteran Samsung dan insinyur semikonduktor, kini memimpin komite strategis industri chip Korea. Bukan politikus, bukan ekonom teoritis, tapi insinyur yang paham betul bagaimana chip dibuat dari nol hingga jadi produk yang menguasai pasar global. Yang Hyang-ja bahkan memperingatkan Korea bisa menjadi “koloni teknologi baru” jika tidak memperkuat kapasitas domestik. Compare that dengan Indonesia yang masih debat apakah teknokrat perlu atau tidak.
China, meski sistem politiknya berbeda, juga menunjukkan pola serupa. Banyak pemimpin tingkat tinggi China memiliki latar belakang engineering—dari Presiden Xi Jinping yang lulusan Tsinghua University jurusan chemical engineering, hingga berbagai gubernur dan menteri yang berasal dari fakultas teknik. Mereka memahami bahwa dalam era Revolusi Industri 4.0, memimpin negara tanpa memahami teknologi seperti mengendarai Ferrari dengan mata tertutup.
Jepang, meski lebih demokratis, juga memiliki tradisi kuat menempatkan teknokrat dengan latar belakang teknis dalam posisi-posisi strategis. Ministry of International Trade and Industry (MITI) yang legendaris itu sebagian besar dijalankan oleh para insinyur dan teknokrat yang paham industri.
Sementara Indonesia? Kita lebih suka menempatkan artis yang punya banyak follower ketimbang insinyur yang bisa merancang sistem. Seperti memilih tukang cerita ketimbang tukang bangunan untuk membangun rumah.
Dilema Kontemporer
Kabinet-kabinet pasca-Reformasi menunjukkan kecenderungan yang menarik: ketika krisis ekonomi melanda, ekonom dipanggil seperti tukang servis AC yang handal. Ketika situasi normal, mereka sering digantikan oleh politikus yang dianggap lebih “dekat dengan rakyat.” Insinyur? Mereka bahkan tidak masuk dalam daftar panggilan darurat. Pola ini seperti kebiasaan orang Indonesia yang hanya ingat Tuhan ketika sakit—teknokrat hanya diingat ketika negara dalam kondisi kritis, dan insinyur bahkan tidak diingat sama sekali.
Ironinya, negara-negara yang berhasil mengalami transformasi ekonomi berkelanjutan—Singapura, Korea Selatan, Taiwan—justru menjadikan insinyur sebagai tulang punggung teknokrasi mereka, bukan sebagai ornamen. Lee Kuan Yew tidak mengganti teknokratnya setiap lima tahun untuk menjaga popularitas. Park Chung-hee tidak khawatir apakah insinyur aerospace-nya bisa berpidato dengan bahasa yang mudah dipahami pedagang pasar.
Sementara Indonesia, kita lebih suka debat tentang backup politik seorang menteri daripada kompetensi teknisnya. Seperti orang yang lebih peduli warna cat rumah ketimbang kekuatan fondasinya.
Kutukan Demokrasikah ini?
Pertanyaan yang mengganjal adalah: apakah demokrasi Indonesia memang kurang kompatibel dengan teknokrasi, ataukah kita yang belum dewasa dalam memahami keduanya? Seperti kata orang Sunda, “teu nyaho heuleut teu nyaho beurat“—tidak tahu isi tidak tahu berat. Mungkin kita belum benar-benar memahami bobot dan kompleksitas mengelola negara sebesar Indonesia.
Teknokrasi bukanlah resep ajaib yang bisa menyelesaikan semua masalah, seperti jamu tradisional yang diklaim bisa menyembuhkan segala penyakit. Tapi teknokrasi juga bukan musuh demokrasi yang harus dijauhi seperti hantu pocong di jalan gelap. Keduanya bisa berdampingan, asalkan ada pemahaman yang jernih tentang kapan harus menggunakan expertise dan kapan harus mendengarkan aspirasi.
Chile di bawah Pinochet menunjukkan bahwa teknokrasi tanpa demokrasi bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang spektakuler, tapi dengan biaya sosial dan kemanusiaan yang sangat tinggi. Sebaliknya, Venezuela menunjukkan bahwa populisme tanpa teknokrasi bisa berujung pada kehancuran ekonomi meski didukung mayoritas rakyat. Indonesia memiliki kesempatan untuk mengambil jalan tengah: demokrasi yang diperkuat dengan teknokrasi, bukan demokrasi yang dilemahkan oleh anti-intelektualisme.
Indonesia memiliki kesempatan untuk mengambil jalan tengah: demokrasi yang diperkuat dengan teknokrasi, bukan demokrasi yang dilemahkan oleh anti-intelektualisme.
Menatap Cermin Bangsa
Kita telah lama memilih untuk menjadi bangsa yang pandai bernostalgia dengan masa lalu teknokratis, tapi enggan belajar dari pengalaman tersebut. Seperti orang yang rindu dengan mantan pacar tapi tidak mau memperbaiki diri untuk hubungan yang lebih baik. Era Suharto, Habibie, dan SBY telah memberikan bukti empiris bahwa teknokrasi—dengan segala kelebihan dan kekurangannya—memiliki korelasi positif dengan kemajuan bangsa.
Yang lebih menyedihkan, kita tidak hanya kehilangan tradisi teknokrasi secara umum, tapi juga kehilangan keseimbangan antara ekonom dan insinyur. Ekonom Berkeley dan insinyur Habibie, meski berkompetisi, sebenarnya saling melengkapi: yang satu memastikan stabilitas makro, yang lain membangun kapasitas produktif. Rivalitas Widjojonomics vs Habibienomics seharusnya menciptakan synthesis yang lebih kuat, bukan eliminasi salah satu pihak.
Bandingkan dengan negara-negara maju yang berhasil menyeimbangkan kedua pendekatan. Korea Selatan tidak hanya mengandalkan ekonom untuk mengelola chaebols, tapi juga insinyur untuk membangun Samsung, Posco dan LG. Singapura tidak hanya fokus pada financial hub, tapi juga smart nation yang dijalankan ribuan insinyur pemerintah. China tidak hanya memikirkan growth rate, tapi juga technological leap yang dipimpin para engineer-turned-politician.
Meminjam lirik Rhoma Irama, “Jangan ada dusta di antara kita.” Jangan ada dusta dalam mengakui bahwa Indonesia membutuhkan teknokrat yang kompeten—baik ekonom maupun insinyur—untuk menghadapi tantangan abad ke-21. Jangan ada dusta dalam mengakui bahwa politik identitas dan popularitas sesaat tidak akan menyelesaikan masalah infrastruktur digital, energi terbarukan, atau industri 4.0. Dan jangan ada dusta dalam mengakui bahwa rakyat Indonesia sebenarnya cukup cerdas untuk membedakan antara teknokrat yang genuinely competent dan teknokrat gadungan yang hanya bermodalkan titel akademik.
Pertanyaannya sekarang: sanggupkah kita menatap cermin dan mengakui bahwa negeri ini perlu lebih banyak ruang untuk keinsinyuran—dari berbagai disiplin ilmu—tanpa kehilangan jiwa demokrasi? Ataukah kita akan terus bermain dalam lingkaran setan: merindukan teknokrat ketika krisis, mengusir mereka ketika situasi membaik, lalu terkejut ketika masalah kompleks tidak bisa diselesaikan dengan slogan dan janji politik?
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb.