Allah dan Rasulnya Itu Nyata Terlihat Adanya

Agama Tarekat Tasawuf

“Bila telah terbuka hijab, maka Allah itu nyata, dan yang lain tidak ada, baik itu Dzat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya, Af’al-Nya bahkan Wujud-Nya.”

Oleh: H. Derajat*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Sahabatku, wahai para Kekasih Allah. Pada pagi hari yang penuh kebahagiaan ini di mana Allah terus menerus mengajak kita untuk mengenalNya dengan lebih baik, karena sesungguhnya perintah untuk mengenal Allah adalah kewajiban tiap-tiap mukmin dan muslim sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَمَن كَانَ فِى هَٰذِهِۦٓ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِى ٱلْآخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا ۞

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Isra [17]: 72)

Tentunya kita semua setiap hari menginginkan kebahagiaan, tapi semua itu mustahil kita dapatkan tanpa kita mengenal Allah.

Prof Dr. Nasarudin Umar, Imam Masjid Istiqlal bahkan menyuruh kita agar belajar Tasawuf agar lebih mengenal Allah:

Melalui belajar Tasawuf/Tarekat maka kita akan Terbuka Hijab melihat Allah maupun RasulNya sebagaimana yang dikalamkan Abah Guru Sekumpul:

Awal Beragama adalah Makrifatullah yang maknanya mengenal Allah. Dalam hal ini mengenal Allah tentunya berbeda dengan mengetahui Allah. Kalau mengetahui, itu cukup sekedar tahu bahwa Tuhan itu ada, dan namanya adalah Allah. Tauhid ya hanyalah seperti itu. Ilmu tauhid hanya untuk tahu Allah itu ada, dan Dia itu Esa. Cukup. Hanya segitu. Lebih dari itu ya sekedar menambah-nambah apa saja sifat yang kira-kira cocok buat Tuhan.

Sementara makrifat lebih dalam dari itu. Makrifat adalah pembuktian Dia itu Ada. Bukan sekedar tahu nama. Tapi usaha mendekat, dan benar-benar berjumpa. Bahkan akrab dan saling menyapa. Para nabi sudah pada level ini. Sudah dialogis dengan Tuhannya. Adam, kalau tidak mencapai makrifat, mungkin akan selamanya menjadi pithecanthropus; yang mirip-mirip binatang dengan akhlak purbanya itu. Makrifatlah yang membuatnya menjadi sapiens sempurna. Menjadi makhluk langit. Makhluk syurga.

Makrifat berbeda dengan tauhid. Tauhid itu bertuhan secara pasif. Beragama secara awam. Masih dalam level menduga dan hanya sekedar berbaik sangka. Lalu rukuk dan sujud sambil berdoa, meski tak pernah dijawab-Nya. Memang kita disyariatkan untuk beribadah. Namun walau terus kita lakukan, tak sekalipun Tuhan menunjukkan Wajah dan SuaraNya. Keislaman kita pada dimensi tauhid dan syariat, itu sifatnya pasif.

Pada dimensi makrifat, keislaman menjadi sangat dinamis. Tuhannya sudah aktif. Ibarat televisi, layarnya sudah muncul gambar, sudah dihidupkan. Handphone-nya sudah berbunyi. Pintu langit sudah terbuka. Dia senantiasa hadir dalam aneka cara. Dalam bentuk “gemerincing lonceng”, atau wujud spiritual lainnya. Dia sudah mulai berbicara. Dan kita pun sudah mampu merespon-Nya. Tuhan itu Maha Berkata-Kata. Seandainya kita tidak tuli, bisu dan buta, kita pasti akan mampu berhubungan dengan-Nya (QS. Al-Baqarah [2]: 18).

صُمٌّۢ بُكۡمٌ عُمۡىٌ فَهُمۡ لَا يَرۡجِعُوۡنَ ۙ‏ ۞

“Mereka tuli, bisu dan buta, sehingga mereka tidak dapat kembali.”

Untuk mencapai makam makrifat, penyakit tuli, bisu dan buta harus disembuhkan. Harus kasyaf. Karena hanya dengan tersibaknya tirai ruhaniah, gelombang kehadiran Tuhan menjadi terasa. Melalui mukasyafah, wujud keberadaan Tuhan dapat dicerap; tersaksikan dengan segala potensi lahir dan batin kita. Hanya dengan kasyaf, musyadahah terjadi. Syahadat menjadi sempurna.

Kalau masih di alam Jabarut, Tuhan tidak akan pernah dikenali. Tidak terdeteksi. Tidak akan bisa dijumpai. Paling-paling hanya tahu nama saja. Atau sekedar percaya. Orang kafir sekalipun, percaya Tuhan itu ada. Alam Jabarut itu alam binatang. Alam setan. Alam tabiat rendah (being). Alam di mana gelombang kesadaran kita hanya mampu menjangkau sinyal-sinyal bawah. Pada level ini, penampakan Tuhan terhalang oleh dosa-dosa kita. Penyembahan berhala juga rentan terjadi. Niat kita memang menyembah Allah, tapi Allahnya entah di mana. Kita hanya dapat meraba-meraba.

Maka dibutuhkan usaha dan kesadaran untuk naik ke alam lebih tinggi. Alam Malakut. Pada tingkatan ini manusia mulai makrifat. Perlahan menjadi malaikat (becoming). Gelombang malakutnya mulai hidup. Ingat ya, makhluk yang mampu melakukan komunikasi transenden hanya malaikat. Hanya malaikat yang mampu berkomunikasi dengan Allah. Sehingga malaikat juga disebut sebagai “utusan Allah”. Membawa gelombang Tuhan. Makanya para nabi mampu berkomunikasi dengan Tuhan.

Dalam pembacaan Sanad Silsilah Tarekat Syatthariyyah yang diijazahkan Mama Arjaen dari Sunan Bonang dikatakan Kangjeng Nabi Muhammad tampak saking Gusti Allah kalawan lantaran Dat Ruhul Amin. Maka jelaslah bahwa sesungguhnya Nabi itu manusia dengan infrastruktur malaikat. Ruhaninya selalu terjaga. Tidak pernah berhenti bertasbih. Sudah Baqã Billãh. Maksum. Suci.

Para nabi (wali dan orang-orang shaleh yang hidup pada setiap masa) merupakan orang-orang yang telah aktif jaringan batin malaikatnya. Sehingga tidak heran, banyak manusia ditemukan dalam Al-Qur’an mampu berkomunikasi dengan Tuhan.

Yakinlah dengan membangkitkan umat untuk meningkatkan makrifatnya kepada Allah, melalui sharing risalah ini sedikit demi sedikit Allah menjadi Nyata dalam kehidupan kita. Ãmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

____________

* Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita

Tagged