“Kegagalan Indonesia memahami product space tidak bisa dilepaskan dari absennya teknokrasi dalam pembuatan kebijakan ekonomi. Hiduplah Indonesia Raya…!!!”
Deindustrialisasi Dini: Kegagalan Memahami Product Space
GWS, 14 Juli 2025
Bayangkan seorang dalang kondang yang mewarisi seperangkat wayang kulit antik dari Sunan Kalijaga. Wayang-wayang itu bisa menceritakan berbagai lakon—dari Bharatayuddha hingga cerita modern. Namun, alih-alih mempelajari cara memainkannya dengan mahir, dalang itu malah asyik menjual wayang satu per satu kepada kolektor asing. Setelah puluhan tahun, yang tersisa hanya beberapa tokoh figuran, sementara dalang-dalang muda Vietnam dan Korea Selatan justru menciptakan pertunjukan spektakuler dengan wayang-wayang inovatif mereka sendiri.
Itulah gambaran tepat industri tekstil Indonesia: kegagalan memahami apa yang oleh ekonom Harvard Ricardo Hausmann sebut sebagai product space —peta kompleksitas ekonomi yang menunjukkan bagaimana sebuah negara bisa melompat dari satu industri ke industri lain yang lebih canggih. Seperti dalang yang tidak paham bahwa wayang bukan sekadar boneka melainkan platform untuk bercerita, Indonesia tidak pernah memahami bahwa tekstil bukanlah tujuan akhir, melainkan tangga menuju ekonomi berteknologi tinggi.
Product Space: Pelajaran yang Terlewat
Profesor Ricardo Hausmann melalui Atlas Kompleksitas Ekonomi menunjukkan bahwa kemakmuran jangka panjang suatu negara ditentukan oleh seberapa kompleks produk yang bisa dihasilkan. Vietnam memahami ini dengan cemerlang—mereka menggunakan industri tekstil sebagai stepping stone untuk melompat ke industri yang lebih kompleks. Dari memproduksi kaos polos, mereka naik ke tekstil teknis, smart fabric, kemudian ke komponen elektronik dan teknologi tinggi.
Hasilnya? Vietnam tidak hanya mengekspor baju senilai 44 miliar dolar AS pada 2024, tetapi juga telepon pintar, komputer, dan teknologi manufaktur. Ekspor total mereka melompat dari 157 miliar dolar AS (2010) menjadi 378 miliar dolar AS (2023).
Indonesia malah terjebak dalam capability trap—memiliki kemampuan memproduksi produk sederhana tetapi gagal mengembangkan kapabilitas yang lebih canggih. Seperti penjual bakso yang puas jualan di pinggir jalan tanpa pernah berpikir membuka rantai restoran. Data mencengangkan: Economic Complexity Index/EKI Indonesia tahun 2021 berada di peringkat 61 dunia, sementara Vietnam di peringkat 48 dan terus naik. Korea Selatan, yang dulu setingkat dengan kita, kini berada di peringkat 4 dunia.
Teknokrasi vs Politikrasi: Keputusan Dibuat dengan Logika Warung Kopi
Kegagalan Indonesia memahami product space tidak bisa dilepaskan dari absennya teknokrasi dalam pembuatan kebijakan ekonomi. Korea Selatan memiliki tradisi teknokrasi kuat sejak era Park Chung-hee. Keputusan mengembangkan industri berat dan kimia pada 1970-an dibuat berdasarkan analisis mendalam tentang product space. Hasilnya? Samsung yang dulu produsen tekstil kini menjadi raksasa teknologi global.
Vietnam menerapkan pendekatan teknokratis dalam Döi Mói (pembaruan)—bukan sekadar slogan politik, melainkan strategi sistematis berdasarkan pemahaman mendalam tentang keunggulan komparatif dan kompleksitas ekonomi. Mereka tidak mengandalkan “feeling” atau popularitas politik, melainkan data dan analisis.
Indonesia sebaliknya. Keputusan-keputusan strategis sering dibuat dengan logika “warung kopi”—berdasarkan intuisi, pengalaman anekdotal, atau kepentingan politik jangka pendek. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 yang melonggarkan impor tekstil adalah contoh klasik: keputusan dibuat tanpa mempertimbangkan dampak sistemik terhadap product space dan kapabilitas domestik.
Yang lebih absurd, keputusan itu dibuat tanpa kajian dampak (impact assessment) terhadap product space domestik, tanpa konsultasi mendalam dengan teknolog industri, dan tanpa mempertimbangkan strategi jangka panjang untuk diversifikasi ekonomi. Yang dipentingkan adalah “kemudahan berusaha” versi instan, bukan membangun kapabilitas jangka panjang.
Dampak Sistemik: R&D, Kampus, dan Keruntuhan Ekosistem
Akar terdalam kegagalan Indonesia terletak pada paradigma keliru terhadap investasi riset dan pengembangan. Indonesia mengalokasikan 83% investasinya untuk konstruksi dan bangunan, 0% untuk riset dan pengembangan. Rasio anggaran riset terhadap PDB kita masih di bawah 0,3%, sementara Korea Selatan 4,6% dan Vietnam terus meningkat ke arah 2%. Ini seperti petani yang rajin membangun gudang mewah tetapi malas membeli bibit unggul.
Dampaknya fatal: Indonesia kehilangan kapabilitas untuk melompat ke produk yang lebih kompleks. Industri permesinan tekstil 99% bergantung impor, kimia tekstil canggih masih impor masif, serat sintetis inovatif hanya segelintir pemain, teknologi finishing semuanya impor. Sementara Vietnam cerdik membangun ekosistem inovasi terintegrasi—tidak hanya memproduksi garmen, tetapi juga mesin tekstil, perangkat lunak desain, teknologi finishing, bahkan kecerdasan buatan untuk manajemen rantai pasok.
Deindustrialisasi juga memusnahkan “pembentukan modal manusia”—proses pembentukan kapabilitas melalui belajar sambil bekerja. Dari puluhan kampus tekstil yang pernah berjaya, kini hanya tersisa 6 yang masih bernapas. Akademi Komunitas Tekstil Solo mengalami penurunan mahasiswa dari 324 (2018) menjadi 166 (2021). Ini bukan sekadar penurunan sektor pendidikan, melainkan “keruntuhan infrastruktur pengetahuan.”
Serbuan impor tekstil ilegal dari Tiongkok senilai 46 triliun rupiah dalam 5 tahun terakhir menciptakan “efek kaskade” dalam product space. Ketika 60 pabrik tekstil tutup dan 250 ribu pekerja di-PHK, yang hilang bukan hanya pekerjaan, melainkan pengetahuan terakumulasi dan kapabilitas tersembunyi yang menjadi fondasi kemajuan ekonomi.
Kejatuhan Sritex pada Maret 2025 dari raksasa tekstil Asia Tenggara menjadi bangkrut dengan utang 12,9 triliun rupiah adalah simbol kegagalan Indonesia mempertahankan posisi dalam product space global.
Vietnam: Kelas Master dalam Kompleksitas Ekonomi
Vietnam tidak sekadar memanfaatkan keunggulan komparatif sebagai “bengkel dunia,” melainkan secara sistematis membangun kapabilitas untuk melompat ke product space yang lebih menguntungkan. Kerangka strategis mereka: kebijakan industri selektif, PMA dengan transfer teknologi, pembangunan ekosistem inovasi, sofistikasi ekspor, dan integrasi rantai nilai regional.
Hasilnya spektakuler: Vietnam berhasil naik dalam rantai nilai global. Mereka tidak lagi hanya “potong, buat, jahit” dengan margin 3-5%, tetapi sudah masuk “manufaktur desain orisinal” dengan margin 15-20%, bahkan mulai merambah “manufaktur merek orisinal.” Vietnam kini menjadi eksportir tekstil terbesar ke Amerika Serikat, mengalahkan Tiongkok.
Indonesia sebaliknya? Ekspor tekstil kita stagnan di 11,13 miliar dolar AS (2023), turun dari puncak 13 miliar dolar AS (2018). Yang lebih menyedihkan, kita masih terjebak di level CMT dengan margin tipis, sementara aktivitas bernilai tambah dikuasai perusahaan asing.
Persimpangan Sejarah
Indonesia berdiri di persimpangan sejarah ekonomi—antara menjadi korban middle income trap atau bangkit menjadi juara kompleksitas ekonomi. Seperti ungkapan Betawi, “berani karena benar, takut karena salah.” Vietnam berani mentransformasi ekonomi karena yakin dengan peta jalan berbasis bukti dan teknokrasi. Indonesia takut mengambil keputusan berani karena tahu pendekatan kita selama ini salah—terlalu politikrasi, kurang teknokrasi.
Teori Hausmann mengajarkan bahwa kemakmuran jangka panjang tidak datang dari menggali lubang lebih dalam di keunggulan komparatif lama, melainkan dari membangun kapabilitas baru untuk melompat ke product space yang lebih menguntungkan. Vietnam memahami ini. Korea Selatan menguasai ini. Indonesia masih bingung dengan konsep dasarnya.
Yang lebih menyedihkan, kegagalan terjadi di era disrupsi digital dan Industri 4.0—saat peluang lompatan ekonomi justru terbuka lebar. Sementara Vietnam menggunakan kecerdasan buatan untuk desain tekstil dan membangun pabrik pintar, Indonesia masih berkutat dengan masalah impor kapas dan mesin bekas.
Jawabnya ada pada kehendak politik untuk membangun teknokrasi sesungguhnya—sistem pengambilan keputusan berbasis keahlian teknis dan kebijakan berbasis bukti, bukan popularitas politik atau kepentingan sesaat. Seperti pepatah Jawa, “witing tresno jalaran seko kulino“—cinta tumbuh karena terbiasa. Indonesia harus terbiasa dengan pengambilan keputusan berbasis data, analisis, dan pemikiran strategis jangka panjang.
Bangsa yang besar bukan dinilai dari seberapa banyak sumber daya yang dimiliki, melainkan dari seberapa cerdas mereka mentransformasi kapabilitas menjadi keunggulan kompetitif dalam product space global. Vietnam telah membuktikannya. Kapan giliran Indonesia?