“Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya. QRIS dan N250: Dua Cermin Kedaulatan yang tak pernah redup: Sebuah Refleksi tentang Kedaulatan Digital di Tengah Pusaran Kepentingan Global”
Oleh: H. Derajat
Dengan mengutip kalimat Sutan Syahrir: “Kemerdekaan nasional bukan pencapaian akhir, tapi rakyat bebas berkarya adalah pencapaian puncaknya” . Ketika seseorang mengambil hakmu, bangkitlah dan lawan !!!
Ada sesuatu yang menggelitik, ketika melihat bagaimana sebuah kode QR sederhana bisa membuat para petinggi Wall Street gelisah. Bayangkan: di suatu pagi yang cerah di Jakarta, seorang pedagang nasi gudeg menerima pembayaran melalui QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dari pelanggannya. Transaksi berjalan lancar, biaya murah, uang langsung masuk rekening. Di sisi lain dunia, di gedung pencakar langit Manhattan, seorang eksekutif Visa atau Mastercard mungkin sedang menatap laporan keuangan dengan dahi berkerut, angka-angka yang seharusnya mengalir dari Indonesia kini menyusut drastis.
Ironi yang manis, bukan? Sebuah inovasi teknologi sederhana yang lahir dari tanah air sendiri ternyata mampu menggoyahkan dominasi raksasa-raksasa pembayaran global yang selama ini merajai pasar Indonesia. QRIS bukan sekadar sistem pembayaran digital; ia adalah manifesto kedaulatan ekonomi yang ditulis dalam bahasa algoritma dan enkripsi.
Anatomi Sebuah Revolusi Senyap
QRIS hadir sebagai jawaban atas pertanyaan mendasar: mengapa transaksi domestik harus memutar dunia dulu sebelum kembali ke Indonesia? Sebelum era QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), setiap kali kita menggesek kartu atau melakukan pembayaran digital, data dan transaksi kita harus “minta ijin” dulu ke server-server di luar negeri—seperti surat yang dikirim dari Jakarta ke Bandung tapi harus mampir ke Singapura terlebih dahulu.
Kini, dengan QRIS yang terintegrasi dalam ekosistem GPN, transaksi domestik benar-benar menjadi domestik. Uang berputar di dalam negeri, data tetap di tanah air, dan yang terpenting—biaya transaksi menjadi jauh lebih murah. Bagi pedagang kecil, selisih beberapa ribu rupiah per transaksi bukanlah perkara sepele. Bagi negara, ini adalah langkah strategis menuju kemandirian finansial.
Dampaknya? Seluruh ekosistem finansial Barat mulai merasakan gigitan yang tidak main-main. Visa dan Mastercard tentu saja yang paling terasa, tetapi jejaring mereka jauh lebih luas dari itu. Cirrus, yang menguasai jaringan ATM global dan mendapat komisi dari setiap penarikan lintas negara, juga kehilangan revenue stream signifikan ketika transaksi domestik tidak lagi perlu “minta ijin” ke luar negeri.
American Express, yang selama ini menjadi simbol prestise dengan fee transaksi tertinggi, tiba-tiba terlihat mahal dan tidak praktis dibandingkan QRIS yang nyaris gratis. PayPal, yang dulu menjadi raja pembayaran digital sebelum era super apps, kini harus bersaing dengan sistem lokal yang jauh lebih terintegrasi dan murah.
Yang lebih dalam lagi, sistem SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication) yang menjadi tulang punggung transfer internasional selama puluhan tahun, mulai merasakan erosi ketika transaksi domestik tidak lagi memerlukan validasi internasional. Bank-bank investasi global seperti JPMorgan Chase, Goldman Sachs, dan Citigroup yang selama ini mendapat komisi dari cross-border transactions dan layanan correspondent banking, melihat volume transaksi yang mengalir melalui sistem mereka menyusut drastis.
Bayangkan saja: dengan ratusan juta transaksi harian di Indonesia, potensi pendapatan yang “hilang” dari seluruh jaringan finansial Barat ini bisa mencapai miliaran rupiah setiap hari. Ini bukan hanya soal interchange fee Visa-Mastercard, tetapi seluruh rantai nilai yang selama ini mengalir ke luar negeri—mulai dari biaya pemrosesan, validasi keamanan, hingga currency conversion.
Tidak heran jika kemudian Amerika Serikat, melalui United States Trade Representative (USTR), mulai mengkritik QRIS dan GPN sebagai “hambatan perdagangan.” Yang mereka sebut “hambatan” sesungguhnya adalah hilangnya privilese untuk memungut toll dari setiap transaksi yang terjadi di Indonesia.
Déjà Vu
Bagi mereka yang cukup usia untuk mengingat tahun 1998, kasus QRIS ini akan menimbulkan rasa déjà vu yang kuat. Kala itu, Indonesia hampir mencicipi kejayaan sebagai produsen pesawat komersial dengan N250 “Gatot Kaca”—pesawat buatan anak bangsa yang sudah terbang dan hampir memasuki tahap produksi massal. Namun, krisis moneter 1997-1998 dan intervensi IMF mengubah segalanya.
Dengan dalih restrukturisasi ekonomi, IMF “menyarankan” Indonesia untuk menghentikan program pesawat N250. Alasannya klise: tidak efisien, boros anggaran, lebih baik fokus pada sektor lain. Yang tidak disebutkan adalah bagaimana penghentian N250 akan membuka pasar Indonesia lebar-lebar untuk produsen pesawat asing lainnya.
Ironi yang lebih mendalam lagi: N250 “Gatot Kaca” sesungguhnya dirancang khusus untuk menjawab kebutuhan geografis Indonesia yang unik sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan kapasitas 50-70 penumpang dan kemampuan terbang jarak pendek, N250 sangat cocok untuk rute-rute antar pulau yang tidak memerlukan pesawat jumbo jet tapi tetap membutuhkan konektivitas reguler.
Bayangkan betapa strategisnya N250 untuk menghubungkan Flores dengan Lombok, Banda Aceh dengan Batam, atau pulau-pulau di Maluku dan Papua yang hingga kini masih sulit dijangkau. IMF dengan mudahnya menyebut ini “tidak efisien,” padahal mereka tidak paham bahwa efisiensi untuk negara kepulauan tidak bisa diukur dengan standar kontinental atau jangan-jangan menyampaikan pesan para pelobi tingkat tinggi.
Yang lebih tragis, penghentian N250 juga memutus rantai inovasi yang bisa berlanjut ke pengembangan seaplane—pesawat air yang sangat dibutuhkan Indonesia untuk menjangkau ribuan pulau kecil yang tidak memiliki landasan pacu. Ir. Habibie, sebagai arsitek utama N250, tentu memahami bahwa teknologi dasar yang dikuasai dalam pembuatan pesawat tersebut—mulai dari composite materials hingga avionics —merupakan fondasi yang sangat berharga untuk mengembangkan pesawat amfibi yang bisa mendarat di air.
Visi Ir. Habibie bukan hanya soal membuat satu jenis pesawat, tetapi membangun ekosistem industri penerbangan yang bisa beradaptasi dengan kebutuhan geografis Indonesia. N250 adalah langkah pertama dalam master plan yang lebih besar: menguasai teknologi dasar untuk kemudian mengembangkan berbagai varian pesawat sesuai kebutuhan Nusantara, termasuk seaplane yang sangat strategis untuk negara kepulauan.
Seaplane bukanlah teknologi eksotis—Kanada dengan wilayah perairan luas sangat mengandalkannya, begitu juga dengan negara-negara Skandinavia. Untuk Indonesia dengan 17.508 pulau, seaplane bisa menjadi game changer dalam konektivitas nasional. Tapi semua potensi itu pupus ketika program N250 dihentikan atas “saran” pihak yang sama sekali tidak memahami kompleksitas geografis Nusantara.
Hasilnya? Indonesia kehilangan momentum menjadi kekuatan industri penerbangan regional, dan hingga kini masih harus mengimpor pesawat dengan harga selangit—pesawat yang seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan spesifik negara kepulauan. Sementara itu, pulau-pulau terpencil tetap terisolasi, dan cita-cita membangun industri seaplane yang sangat strategis untuk Indonesia tinggal menjadi mimpi di siang bolong.
Pola yang sama kini terulang dengan QRIS, hanya dengan aktor dan panggung yang berbeda. Jika dulu IMF yang “menyarankan,” kini USTR yang “mengkritik.” Jika dulu yang terancam adalah industri pesawat, kini yang digoyahkan adalah sistem pembayaran digital. Namun esensinya sama: upaya menghambat Indonesia membangun kedaulatan teknologi dan ekonomi.
Diplomasi Kode QR
Yang menarik dari fenomena QRIS adalah bagaimana sebuah teknologi pembayaran bisa menjadi instrumen diplomasi. Indonesia tidak hanya menggunakan QRIS untuk pasar domestik, tetapi juga mulai mengintegrasikannya dengan sistem pembayaran negara-negara ASEAN. Malaysia, Thailand, dan Singapura mulai mengadopsi sistem serupa dan membangun interkoneksi dengan QRIS Indonesia.
Ini adalah soft power dalam bentuknya yang paling elegan. Alih-alih memaksakan standar melalui tekanan politik atau ekonomi, Indonesia menawarkan solusi yang saling menguntungkan. Pedagang di Kuala Lumpur bisa menerima pembayaran dari turis Indonesia tanpa harus bergantung pada Visa atau Mastercard. Wisatawan Indonesia di Bangkok bisa bertransaksi dengan QRIS tanpa khawatir biaya konversi yang mahal.
Ketika Hegemoni Mulai Retak
QRIS sesungguhnya hanyalah salah satu nada dalam simfoni global yang lebih besar—simfoni tentang pergeseran kekuatan dunia yang lambat tapi pasti. Jika kita menajamkan pendengaran, kita akan mendengar melodi serupa dari berbagai penjuru dunia, sebuah orkestra counter-hegemony yang dimainkan dengan instrumen yang beragam.
Di sebelah utara, China telah mengubah narasi global dari “Made in China” yang dulu identik dengan barang murahan, menjadi “Created in China” yang menakutkan Silicon Valley. Ketika Huawei mulai memimpin teknologi 5G, ketika BYD menggeser Tesla di pasar kendaraan listrik global, ketika TikTok membuat Meta gelisah—itulah momen-momen ketika Washington mulai menyadari bahwa monopoli teknologi Barat tidak lagi sekukuh dulu.
Yang lebih menggelitik adalah munculnya “pemberontakan” dari tempat-tempat yang tak pernah terduga. Burkina Faso, sebuah negara di Afrika Barat yang mungkin tidak familiar bagi kebanyakan orang Indonesia, tiba-tiba menjadi pionir dalam memutus rantai kolonialisme modern. Di bawah kepemimpinan Ibrahim Traoré, negara ini berani mengusir tentara Prancis, menolak bantuan conditional dari Barat, dan memilih jalur mandiri—bahkan dengan segala risikonya.
Atau Iran, yang setelah berpuluh tahun diisolasi dengan embargo ketat, justru melahirkan kejutan teknologi yang membuat Pentagon gerah. Negara yang “seharusnya” hancur karena sanksi teknologi malah berhasil mengembangkan drone yang ditakuti NATO, rudal hipersonik yang melampaui teknologi Barat, dan bahkan program antariksa yang berhasil meluncurkan satelit dengan teknologi buatan sendiri. Ketika Barat menutup akses teknologi, Iran justru terpaksa berinovasi—dan hasilnya mengejutkan dunia.
Ironi yang sempurna: embargo yang dirancang untuk melumpuhkan Iran secara teknologi malah mendorong mereka menjadi mandiri. Kini, drone-drone buatan Iran digunakan dalam berbagai konflik global, menunjukkan bahwa monopoli teknologi militer Barat tidak lagi seabsolut dulu. Amerika yang dulu merasa aman dengan superioritas teknologi, kini harus mengakui bahwa negara yang dikucilkan selama puluhan tahun bisa menghasilkan teknologi yang setara atau bahkan lebih canggih.
Bukankah ini familiar? Negara kecil yang berani berkata “tidak” pada kekuatan besar, memilih jalan berliku menuju kemandirian ketimbang kemudahan semu dari ketergantungan. Ibrahim Traoré di Burkina Faso, dalam skala yang berbeda, melakukan hal yang sama dengan apa yang coba dilakukan Indonesia melalui QRIS—memutus ketergantungan pada sistem yang dikontrol pihak asing.
Ironi Manis di Ujung Hegemoni
Ada ironi yang hampir komik dalam reaksi Barat terhadap fenomena-fenomena ini. Ketika China membangun Belt and Road Initiative, mereka dituduh melakukan “debt trap diplomacy”—seolah-olah World Bank dan IMF selama ini membagi-bagi uang tanpa syarat. Ketika Burkina Faso mengusir tentara Prancis, mereka dituduh tidak stabil dan anti-demokrasi—seolah-olah kehadiran tentara asing adalah jaminan stabilitas.
Ketika Indonesia meluncurkan QRIS, mereka bilang ini hambatan perdagangan. Padahal selama ini, siapa yang menghalangi negara berkembang membangun sistem pembayaran sendiri dengan memonopoli teknologi dan menciptakan ketergantungan struktural?
Yang paling menghibur adalah mendengar keluhan tentang “unfair competition” dari mereka yang selama puluhan tahun menikmati unfair advantage. Visa dan Mastercard menguasai hampir 90% pasar pembayaran global bukan karena inovasi semata, tapi karena mereka hadir lebih dulu ketika infrastruktur pembayaran digital dibangun, didukung oleh kekuatan ekonomi dan politik negara asal mereka.
Kini, ketika negara-negara mulai membangun alternatif—QRIS di Indonesia, UnionPay di China, RuPay di India, local payment systems di berbagai negara—tiba-tiba mereka prihatin dengan “fragmentasi” sistem pembayaran global. Fragmentasi atau diversifikasi? Atau mungkin mereka hanya khawatir kehilangan cash cow yang selama ini diperah dengan nyaman?
Menangkap Momentum Perubahan
Perbedaan mendasar antara era N250 dan era QRIS terletak pada konteks dan kesiapan Indonesia menghadapi tekanan eksternal. Tahun 1998, Indonesia berada dalam posisi sangat lemah—krisis moneter membuat negara ini hampir bangkrut dan sangat bergantung pada bantuan IMF. Posisi tawar Indonesia praktis tidak ada, sehingga tidak punya pilihan selain menerima semua “saran” dari lembaga-lembaga internasional.
Lebih penting lagi, tahun 1998 adalah era puncak unipolar moment Amerika—ketika dunia seolah hanya memiliki satu kutub kekuatan. Washington Consensus belum tertantang, neoliberalisme masih dianggap sebagai “akhir sejarah,” dan tidak ada alternatif yang kredibel terhadap model pembangunan ala Barat.
Kini, situasinya berbeda secara fundamental. Indonesia tidak hanya lebih kuat secara ekonomi, tetapi juga hidup di dunia yang multipolar. Ketika Beijing menawarkan Belt and Road Initiative sebagai alternatif terhadap World Bank, ketika negara-negara Afrika mulai mengusir bekas penjajah mereka, ketika bahkan negara sekecil Burkina Faso berani mengatakan “tidak” pada Prancis—Indonesia menyadari bahwa pilihan tidak lagi hitam-putih.
QRIS lahir di momentum yang tepat, ketika dunia sedang mencari alternatif terhadap sistem yang selama ini didominasi Barat. Indonesia tidak sendirian dalam upaya membangun kedaulatan teknologi. China dengan super apps seperti WeChat Pay dan Alipay, India dengan UPI (Unified Payments Interface), Brasil dengan PIX—semua menunjukkan bahwa masa monopoli Visa-Mastercard sudah berakhir.
Yang lebih ironis, negara-negara yang dulu dianggap “murid” dalam hal teknologi finansial, kini justru menjadi guru bagi dunia maju. QR code payment yang kini mulai diadopsi di Amerika dan Eropa? Itu teknologi yang sudah bertahun-tahun digunakan di Asia. Super apps yang menggabungkan berbagai layanan dalam satu platform? WeChat sudah melakukannya sejak 2013, sementara WhatsApp baru mulai bereksperimen dengan fitur pembayaran.
QRIS dan GPN adalah bukti bahwa Indonesia telah belajar dari masa lalu dan membaca zeitgeist global dengan tepat. Kali ini, tidak ada lagi sikap “iya pak, siap pak” ketika diminta mengorbankan kepentingan strategis nasional demi menyenangkan pihak asing. Sebaliknya, Indonesia memilih jalur diplomasi aktif, membangun koalisi regional, dan tetap berkomitmen pada pengembangan teknologi dalam negeri—sambil menertawakan keluhan-keluhan dari mereka yang mulai kehilangan monopoli.
Filosofi Kedaulatan di Era Digital
Pertanyaan mendasar yang muncul dari kasus QRIS dan N250 adalah: apakah kedaulatan ekonomi dan teknologi masih relevan di era globalisasi? Jawabannya adalah absolut ya. Globalisasi tidak berarti penyerahan kedaulatan, tetapi integrasinya harus berdasarkan prinsip saling menguntungkan, bukan eksploitasi sepihak.
QRIS membuktikan bahwa Indonesia bisa berinovasi dan menciptakan solusi teknologi yang tidak hanya melayani kebutuhan domestik, tetapi juga relevan secara regional. Ini adalah bentuk globalisasi yang sehat—dimana setiap negara berkontribusi dengan keunggulan komparatifnya, bukan hanya menjadi pasar untuk produk negara lain.
Pengalaman N250 mengajarkan bahwa ketergantungan teknologi adalah ketergantungan politik. Ketika kita tidak memiliki kemampuan memproduksi teknologi strategis, kita akan selalu berada dalam posisi yang lemah dalam negosiasi internasional. QRIS adalah langkah kecil tapi signifikan untuk memutus siklus ketergantungan tersebut.
Melawan Arus dengan Kepala Dingin
Di sinilah kita berdiri hari ini—di persimpangan antara kedaulatan dan tekanan global, di tengah simfoni perubahan yang tidak bisa dihentikan lagi. QRIS bukan hanya tentang pembayaran digital, tetapi tentang harga diri bangsa dan kemampuan kita menentukan masa depan sendiri. Seperti yang pernah dikatakan oleh pendiri bangsa ini: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya.”
Yang menghibur adalah menyaksikan kepanikan terselubung dari mereka yang selama ini menikmati posisi dominan. Ketika China mulai mengekspor teknologi alih-alih hanya menjadi pabrik dunia, ketika India membangun sistem pembayaran digital yang lebih canggih dari Amerika, ketika bahkan negara sekecil Estonia menjadi pioneer e-governance —di situlah kita melihat bagaimana monopoli teknologi Barat mulai terkikis.
Burkina Faso mungkin negara kecil dan miskin, tetapi keberanian Ibrahim Traoré mengusir tentara Prancis mengirim pesan yang jelas: era dimana negara kecil harus patuh tanpa syarat kepada mantan penjajah sudah berakhir. Era dimana “bantuan” selalu datang dengan syarat yang menguntungkan pemberi, era dimana “saran” dari lembaga internasional tidak boleh dibantah—semua itu mulai menjadi cerita masa lalu.
QRIS adalah bagian dari momentum global ini. Indonesia tidak lagi sendirian dalam membangun alternatif terhadap sistem yang dikontrol Barat. Ada China dengan digital currency dan sistem pembayaran digital yang mengabaikan SWIFT, ada Rusia yang membangun sistem pembayaran sendiri setelah sanksi, ada India yang menjadi laboratorium fintech dunia dengan biaya transaksi hampir nol.
Sejarah N250 adalah sejarah yang menyakitkan, tetapi juga sejarah yang menginspirasi. Ia mengingatkan kita bahwa dalam upaya membangun kedaulatan, akan selalu ada pihak-pihak yang merasa terancam dan berusaha menghalangi. Bedanya, kini mereka tidak lagi memiliki monopoli atas alternatif. Ketika IMF mengancam, ada China Development Bank. Ketika Visa-Mastercard melobi, ada UnionPay dan sistem pembayaran lokal. Ketika Boeing dan Airbus bermain harga, ada COMAC dan emerging manufacturers lainnya.
QRIS telah membuktikan bahwa Indonesia bisa berdiri tegak di tengah pusaran kepentingan global. Kini saatnya melangkah lebih jauh—tidak hanya mempertahankan apa yang sudah ada, tetapi terus berinovasi dan membangun ekosistem teknologi yang lebih komprehensif.
Sebab pada akhirnya, kedaulatan bukanlah hadiah yang diberikan, tetapi pencapaian yang diperjuangkan. Dan kali ini, perjuangan itu dilakukan bukan dalam kesendirian, melainkan dalam koridor global yang semakin demokratis—dimana negara kecil pun bisa berkata “tidak,” dimana alternatif tersedia, dan dimana mereka yang selama ini berkuasa mulai merasakan bagaimana rasanya kehilangan kontrol.
Yang terpenting adalah kita tidak pernah lupa bahwa di balik setiap kode QR yang dipindai, di balik setiap transaksi digital yang berhasil, tersimpan mimpi besar sebuah bangsa untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri—sambil menertawakan tangisan mereka yang mulai kehilangan cash cow yang selama ini diperah dengan nyaman.
Jayalah Indonesiaku, Jayalah Bangsa Dan Negaraku !!!