![]() |
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang karenaNya kami mempunyai daya hingga mampu berkarya dalam kehidupan di dunia fana ini untuk kemaslahatan budaya beragama dan agama berbudaya di bumi Indonesia tercinta ini. Shalawat, salam, takhdim dan ta’dzim serta seluruh kebaikan kami sambungkan dari tali jiwa kami kepada junjungan alam hingga akhir zaman, Sayyidina Muhammad SAW, yang dengan cinta dan syafaátnya, Insyã Allãh, kami akan kembali kehadirat Allah SWT dengan selamat. Tidak berlebihan kiranya jika menyebut Bangsa Indonesia ini adalah miniatur sebuah tatanan dunia secara keseluruhan.
Keaneka-ragaman suku bangsa dengan latar belakang sejarahnya masing-masing telah memiliki daya juang yang tak kalah tangguhnya dengan bangsa-bangsa di dunia. Nilai filosofi budaya pada setiap suku telah memaparkan kepada dunia bahwa Bangsa Indonesia lebih dari sekedar layak untuk menjadi kampiun peradaban dunia. Tak sedikit bukti-bukti arkeologis menceritakan tentang kejayaan bangsa di nusantara masa lampau dengan peradabannya yang unggul.
Budaya beragama yang tumbuh menjadi spirit kebangsaan telah menjadi nafas bagi penyelenggaraan tatanan kemasyarakatan yang disebut sebagai negara. Budaya beragama yang terserap ke dalam sendi-sendi bernegara telah menterjemahkan makna beragama itu sendiri. Sehingga dalam proses itu, spiritualitas beragama telah muncul, tumbuh dan menjadi nafas bagi keberlangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Spiritualitas dalam agama itu telah melahirkan sebuah pemahaman dan metodologinya sendiri dalam menata hubungan-hubungan sosial. Cara beragamanya bangsa nusantara telah mengalami pemapanan hingga menjadi budaya. Budaya yang positif, beradab dan visioner.
Para waliyyullah yang datang ke nusantara di abad-abad pertengahan, ketika Kekaisaran Turki Utsmani melebarkan sayap kekuasaannya hingga daratan Eropa melalui perang, menemukan bangsa nusantara memiliki kepercayaan yang segaris lurus dengan bangsa-bangsa di Timur Tengah. Sehingga kedatangan para Pemuka Agama Islam ke nusantara di saat Turki Utsmani menguasai daratan Eropa justru melihat bangsa nusantara ini bukanlah sebagai “musuh” agama.
Dengan sangat mudahnya, sistem kepercayaan yang dibawa oleh para wali ke nusantara diterima dan diserap hingga menjadi sistem kepercayaan lokal. Artinya, local wisdom yang hidup di nusantara melalui spirit monoteisme telah ada sepanjang sejarah kemunculan bangsa nusantara, jauh sebelum para wali datang ke nusantara. Monoteisme adalah sebuah sistem kepercayaan yang segaris dengan misi para Nabi sejak zaman Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW.
Dalam kesempatan ini, Pasulukan Loka Gandasasmita memiliki visi mengembalikan spirit kebangsaan dengan memulai mendidik diri kami sebagai seorang salik agar berpegang teguh pada kesadaran pandangan “budaya beragama dan agama berbudaya”. Tekad ini kami himpun dan kami unggah dalam bentuk sebuah website agar dapat dinikmati oleh banyak orang sebagai media dakwah dan riyãdhah spiritual kami.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa Pasulukan Loka Gandasasmita didirikan dengan landasan inklusifisme pemahaman ke-Tuhan-an melalui suluk lalu mentransformasikan ke dalam budaya lokal sehingga menjadi spirit untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahasa singkatnya, mengenal jatidiri pribadi, mengenal asal muasal bangsanya, dan mengenal nilai-nilai lokalnya untuk kemudian mengenal Tuhannya.
![]() |
Tuhan Yang Maha Hidup telah “memancarkan” ke-Maha Hidup-an-Nya ke muka bumi dalam bentuk bangsa-bangsa yang beraneka macam dan pribadi-pribadi dengan karakteristiknya masing-masing. Sebagaimana ungkapan dalam sebuah Hadits “Siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya”. Hadits ini juga bermakna, siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal bangsanya, kemudia ia akan mengenal Tuhannya. Makna itu menunjukkan sebuah dinamika pengenalan diri dalam perjalanan menuju Tuhan. Mengenal diri tak bisa dilepaskan dari mengenal bangsanya sendiri, karakteristik budayanya dan keagungan nilai-nilai filosofi budayanya.
Pasulukan Loka Gandasasmita adalah sebuah perguruan tarekat (peguron -Sunda) yang bukan hanya bersifat ‘amali, tapi juga falsafi. Sebab, kedua metode tarekat tersebut telah dikenal dalam dunia ilmu Ketuhanan. Dan kedua metode tersebut dipakai untuk meniti jalan menuju Tuhan. Meskipun tasawuf ‘amali harus didahulukan sebagai energi untuk mengobservasi segala sesuatu sebagai aktualisasi dari tasawuf falsafi. Hal ini menjadi penting untuk menghindari metode tasawuf falsafi yang hanya berisikan pemahaman-pemahaman retoris.
Website ini adalah sebuah “kebun”, sebuah tempat dan arah pandang para salik untuk melihat para anak bangsa dalam kacamata spiritual, adakah mereka membawa dirinya dengan nilai spiritual yang benihnya terdapat di rahim adiluhung budaya bangsa ini. Mengingat budaya bangsa ini begitu agung, bercitarasa tinggi dan penuh dengan nilai-nilai filosofis. Nilai-nilai itulah yang seharusnya dimanfaatkan untuk memberikan ruh dalam laju pembangunan sehingga ia tidak melenceng dari spiritnya. Nilai-nilai filosofis dalam membangun bangsa ini menjadi semacam ‘kode etik’ untuk mencapai sebuah kemajuan bangsa yang beradab, bukan semata-mata menjadi negara maju tapi kering nilai.
Setiap kita adalah anak bangsa. Dan anak bangsa memiliki tanggung jawab moral untuk mentransformasikan nilai-nilai spiritual ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana semboyan simbolik yang tertulis di dalam logo Pasulukan Loka Gandasasmita; “Widaksana Natasasmita” (Bijaksana dalam melihat dan menata tanda-tanda) yang jika ditranskripsikan dalam istilah yang lebih gamblang adalah:
“antisipatif dalam melihat tanda-tanda yang dapat menghancurkan bangsa dan eksploratif dalam melihat peluang-peluang untuk menjadi bangsa yang berdaulat, adil dan makmur”.
Peran serta bangsa Indonesia dalam kancah dunia, dalam sejarahnya, tidak bisa dipandang sebelah mata. Hanya saja, ketika perubahan zaman dari era manual ke era digital, kita merasakan sebuah perubahan cara pandang yang saat ini telah lepas dari nilai-nilai budaya lokal. Situasi ini menjadi kekhawatiran kita bersama. Bagaimanapun cara kita untuk menjadi negara kampiun di dunia, satu hal yang harus kita pegang teguh adalah nilai-nilai budaya bangsa.
Kita juga mesti bersyukur, bahwa Pancasila sebagai dasar negara, hingga saat ini masih disadari dan dipegang teguh oleh seluruh masyarakat bangsa ini. Dan setidaknya, mindset “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama menjadi peluang untuk diaktualisasikan dalam setiap segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan agung dalam kehidupan berbangsa menjadi segaris lurus dengan tujuan agung kehidupan pribadi manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Pituah para wali dan orang-orang terdahulu dalam membangun kekuatan bangsa ini di atas pondasi yang benar adalah modal paling besar untuk menentukan kemana arah perjalanan bangsa ini jika dikaitkan dengan arah pembangunan nasional yakni “pembentukan manusia Indonesia seutuhnya”. Karena itu, Pasulukan Loka Gandasasmita menggariskan sebuah tekad untuk menjadikan budaya adiluhung bangsa ini sebagai garda terdepan dalam setiap perubahan sosial yang dimanisfestasikan dalam sebuah upaya mencapai kesadaran ilahiyah; “budaya beragama, agama berbudaya”.
Sebagai organisasi yang bernafas peguron tarekat Syatthariah, Pasulukan Loka Gandasasmita mengelaborasi nilai-nilai spiritual menjadi nilai-nilai sosial. Cara pandang ketuhanan menjadi cara pandang kebangsaan. Upaya ini diaktualisasikan menjadi metodologi suluk untuk mengenal diri kemudian mengenal Tuhan. Pencapaian Tuhan (wushul ilaa Allah) akan dieksplorasi menjadi pencapaian bangsa yang adil dan makmur (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur). Jika dalam terminologi sufisme ada dikenal istilah kasyf (terbuka hijab-hijab Tuhan), maka dalam kebangsaan akan segaris lurus dengan istilah visioner (analisis strategis dalam pembangunan nasional).
Jadi, istilah dalam setiap terma pencapaian sufi akan dapat dielaborasi dalam pencapaian tujuan nasional bangsa ini. Sementara nilai-nilai budaya bangsa ini dicerap dari kesadaran ilahiiyah sufisme. Pola kesadaran ilahiyah sufisme tersebut telah membentuk sistem kepercayaan dan tradisi mistis setiap suku bangsa di nusantara ini. Sufisme Jawa, sufisme Sunda, sufisme Aceh, sufisme Makassar, sufisme Melayu, dst. memiliki latarbelakang sejarah dan nilai filosofinya masing-masing.
Nama “Pasulukan Loka Gandasasmita”, meskipun menyatakan diri sebagai sebuah organisasi tarekat yang bernafaskan Islam, namun kosakata yang dipakai menjadi pilihan namanya berasal dari nilai-nilai sufisme Sunda kuna sehingga lebih mempribumi.
Pasulukan berasal dari kata suluk dengan imbuhan awalan “pa” dan akhiran “an” yang berarti perjalanan mencari ilmu untuk mencapai Tuhan. Ia berasal dari bahasa Arab yang kemudian dicerap dalam bahasa Indonesia menjadi suluk yang artinya berjalan (menuntut ilmu). Dalam hal ini, suluk bermakna sebuah proses dalam mencari ilmu (untuk menuju Tuhan). Dikatakan ilmu, karena nisbatnya adalah pengenalan tentang Allah SWT.
Subyek atau seseorang yang ber-suluk (ism fa’il) disebut dengan salik. Jadi, istilah Pasulukan adalah sebuah tempat untuk melakukan serangkaian kegiatan dalam rangka proses mencari ilmu untuk mencapai atau mengenal Tuhan. Sedangkan Loka Gandasasmita diambil dari istilah Sunda Kuna. Loka berarti dunia atau alam semesta, sedangkan Gandasasmita berarti tanda-tanda yang terhampar. Loka Gandasasmita adalah tanda-tanda yang terhampar di alam semesta. Tanda-tanda yang dimaksud di sini telah diikat oleh kata Pasulukan sebagai tanda-tanda Ketuhanan. Dalam istilah Jawa Kuna, tanda-tanda Ketuhanan itu disebut juga dengan “wahyu kedaton”.
Jadi, secara spesifik makna Pasulukan Loka Gandasasmita adalah sebuah tempat untuk membina kepribadian menjadi sadar Tuhan dalam rangka menajamkan sikap awas terhadap tanda-tanda-Nya yang terhampar di alam semesta.
Wallahu A’lamu bish-Shawab