Monumen Jalesveva Jayamahe (Monjaya) terletak Mabes Armada II TNI Angkatan Laut, Surabaya.

Paradoks Negara Bahari yang Lupa Lautnya

Analisis Geopolitik Internasional

“Jalesveva Jayamhe! Bangkitkan kesadaran kita bahwa Indonesia adalah Negara Maritim, terluas dan terkaya di dunia sekaligus benteng pertahanan terkuat yang tak mungkin terkalahkan negara manapun, dan Indonesia benar-benar akan menjadi Macan Dunia dan Super Power…”

Oleh: H. Derajat

Pelajaran penting dari perang Iran vs Israel

Ada ironi yang menyakitkan ketika menyaksikan Iran —sebuah negara dengan garis pantai yang jauh lebih pendek dari Indonesia— mampu menggunakan Selat Hormuz sebagai senjata geopolitik yang mengguncang ekonomi dunia. Sementara Indonesia, yang memiliki 17.508 pulau dan menguasai tiga chokepoint vital perdagangan global, masih berkutat dengan impian menjadi “negara maritim” tanpa pernah benar-benar memahami apa artinya.

Konflik naval Iran-Israel di Juni 2025 telah memberikan pelajaran masterclass tentang bagaimana teknologi modern dapat mengubah laut menjadi battlefield tiga dimensi. Iran dengan kapal pembawa drone Shahid Bagheri yang menyamar sebagai kapal kargo, Israel dengan sistem laser Iron Beam Naval yang dapat menghancurkan target dengan biaya 3 dolar per tembakan (tentu tidak termasuk biaya pengembangan dan maitenance), dan kapal selam kelas Dolphin yang beroperasi sebagai deterrent nuclear mobile. Ini bukan lagi pertempuran antara kapal perang tradisional, melainkan pertarungan algoritma di mana supremasi teknologi bertemu dengan strategi asimetris.

Yang paling mencengangkan dari spektakel ini adalah bagaimana sebuah selat selebar 33 kilometer dapat melumpuhkan seperlima ekonomi energi dunia. Ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz bukan sekedar gertakan kosong, mereka memiliki layered denial capability yang dapat memblokade jalur perdagangan tanpa harus mengontrolnya secara fisik.

Lalu di mana posisi Indonesia dalam permainan besar ini? Negara yang motto angkatan lautnya berbunyi “Jalesveva Jayamahe” (Justru di Lautan Kita Menang), Anehnya justru masih mencari-cari kemenangan di domain yang seharusnya menjadi kekuatan alamiahnya.

The Art of Maritime Chokepoints: Pelajaran dari Selat Hormuz

Selat Hormuz membuktikan dalam era ekonomi global, geographical chokepoints bukanlah sekadar fitur geografis, melainkan strategic weapons dengan daya hancur setara senjata nuklir. Iran dapat mengerahkan kapal serang cepat senilai total 10 juta dolar untuk memblokade jalur pelayaran yang membawa kargo bernilai miliaran dolar per hari. Cost of disruption jauh melebihi cost of causing disruption.

Indonesia memiliki leverage yang bahkan lebih besar dari Iran. Selat Malaka memfasilitasi perdagangan senilai USD 3,5 triliun pada 2023 —hampir dua kali lipat seluruh GDP Indonesia. Dengan 94.000 kapal per tahun atau 231 kapal per hari yang melintas, Selat Malaka adalah urat nadi ekonomi Asia yang tidak dapat digantikan.

Namun alih-alih mengoptimalkan posisi strategis ini, Indonesia justru terjebak dalam paradigma lama yang melihat laut sebagai pembatas, bukan penghubung. Sementara Iran menggunakan teknologi converted commercial vessels untuk menyamarkan platform militer sebagai kapal sipil, Indonesia masih berkutat dengan pertanyaan apakah boleh mengenakan tarif kepada kapal yang transit melalui perairan nasional.

Phillip Channel dengan lebar tersempit 2,8 kilometer sebelum masuk Selat Singapura memberikan Indonesia kontrol atas 40% pelayaran perdagangan dunia. Tapi alih-alih mengembangkan kemampuan maritime domain awareness yang canggih, Indonesia masih bergantung pada sistem pengawasan konvensional yang mudah di-spoof oleh teknologi modern.

Algoritma vs Intuisi: Gap Teknologi yang Menganga

Konflik Iran-Israel menunjukkan konvergensi domain dalam naval warfare modern. Keberhasilan di laut kini bergantung pada supremasi di udara, spektrum elektromagnetik, dan cyber space. Iron Beam Naval Israel membutuhkan kondisi atmosfer jernih, sistem radar dapat diganggu electronic warfare, dan sistem navigasi rentan terhadap cyber attacks.

Indonesia menghadapi kerentanan berlapis dalam menghadapi ancaman teknologi modern. BRIN telah mengembangkan AUV Hugin 1000 untuk operasi hidrografi sipil, namun masih jauh dari spesifikasi militer yang diperlukan untuk seabed warfare. China telah mengembangkan quantum sensing yang dapat mendeteksi kapal selam menggunakan drone —teknologi yang mengancam keamanan ALKI Indonesia.

Yang lebih ironis, Indonesia menempati peringkat 24 dari 194 negara dalam Global Cybersecurity Index, namun menghadapi serangan siber berulang terhadap infrastruktur pemerintah pada 2024. Kerentanan cyber meluas ke sistem pertahanan naval, di mana algoritma navigasi dan komunikasi kapal selam dapat disabotase dari jarak jauh.

Sementara Israel mengoperasikan sistem pertahanan udara naval Barak Magen yang memberikan cakupan 360 derajat, Indonesia masih bergantung pada sistem point defense konvensional yang rentan terhadap serangan drone swarm. Iran bahkan dapat meluncurkan drone kamikaze seharga 20.000 dolar yang sulit dicegat oleh sistem pertahanan Indonesia yang ada.

Wisdom Bahari yang Terlupakan

Ada kebijaksanaan mendalam dalam pepatah Jawa: “Segara tanpa wates, nanging ana dasare” (Laut tanpa batas, namun ada dasarnya). Nenek moyang Indonesia memahami bahwa kekuatan maritim bukan hanya tentang menguasai permukaan laut, melainkan memahami dinamika yang tak terlihat di bawahnya.

Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka bukan dengan armada besar, melainkan dengan pemahaman mendalam tentang pola angin, arus laut, dan diplomasi perdagangan. Majapahit menjadi kekuatan regional bukan karena memiliki teknologi superior, melainkan karena memahami bahwa laut adalah jaringan, bukan penghalang.

Namun paradigma thalassophobia era kolonial telah mengubah Indonesia menjadi negara yang takut dengan lautnya sendiri. Doktrin pertahanan masih terfokus pada ancaman darat, infrastruktur pembangunan berorientasi Java-sentris, dan elite politik yang lebih nyaman berbicara tentang investasi infrastruktur darat ketimbang supremasi maritim.

Konsep “Maritime Fulcrum” era Jokowi —dengan lima pilar budaya maritim, perlindungan sumber daya, infrastruktur, diplomasi, dan kekuatan maritim— adalah langkah yang tepat secara konseptual. Namun implementasinya masih terjebak dalam pendekatan birokratis yang tidak memahami urgency of maritime competition.

Asimetri yang Menguntungkan

Belajar dari strategi Iran, Indonesia dapat mengembangkan kemampuan maritime denial yang efektif dengan biaya relatif rendah. Konsep converted commercial vessels sangat relevan bagi Indonesia yang memiliki armada kapal komersial besar dan jalur pelayaran padat.

Kapal kargo konvensional dapat dikonversi menjadi platform drone mobile yang beroperasi di jalur pelayaran ALKI tanpa menarik perhatian. Dengan teknologi autonomous underwater vehicles dan sea mines, Indonesia dapat menciptakan layered denial capability di selat-selat strategis tanpa harus membangun armada surface combatant yang mahal.

Yang lebih strategis, Indonesia dapat mengembangkan kemampuan quantum sensing dan electronic warfare untuk mendeteksi serta mengganggu aset musuh yang beroperasi di perairan nasional. Dengan geografis kepulauan yang kompleks, Indonesia memiliki keunggulan natural untuk underwater guerrilla warfare.

Namun pendekatan asimetris ini membutuhkan paradigm shift dari sea control menuju sea denial. Indonesia tidak perlu mengontrol seluruh Samudera Hindia dan Pasifik, cukup memastikan tidak ada kekuatan asing yang dapat menggunakan perairan Indonesia untuk tujuan yang merugikan kepentingan nasional.

Ekonomi Politik Chokepoints

Potensi ekonomi dari kontrol selat strategis Indonesia sangat besar, namun terkendala oleh UNCLOS yang menjamin hak transit bebas. Meski demikian, Indonesia dapat mengenakan tarif untuk alasan keamanan, perlindungan lingkungan, dan keselamatan navigasi.

Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Malaka dapat dikembangkan menjadi sistem vessel traffic management yang lebih canggih dengan biaya navigasi yang fair. Singapura berhasil mengumpulkan pendapatan signifikan dari port dues dan pilotage services —model yang dapat diadaptasi Indonesia dengan skala yang lebih besar.

Sektor maritim Indonesia berpotensi menghasilkan USD 1,2 triliun per tahun, namun kontribusi saat ini baru kurang dari 30% PDB. Gap ini menunjukkan besarnya peluang yang terbuang akibat paradigma maritim yang tidak optimal.

Yang lebih strategis, kontrol ekonomi atas chokepoints dapat menjadi deterrent yang lebih efektif daripada kekuatan militer konvensional. Ancaman untuk mengganggu supply chain global akan memaksa kekuatan besar untuk berpikir ulang sebelum mengancam kedaulatan Indonesia.

Teknologi Masa Depan: Race Against Time

Autonomous Underwater Vehicles (AUV) dan Unmanned Underwater Vehicles (UUV) akan menjadi game-changer dalam naval warfare masa depan. Israel dan Iran telah mengembangkan berbagai prototipe untuk intelligence gathering, mine laying, dan underwater assassination.

Indonesia perlu mempercepat pengembangan swarm underwater drones yang dapat dioperasikan dari platform permukaan atau kapal selam. Konsep ini sangat cocok dengan karakteristik perairan Indonesia yang dangkal dan kompleks, di mana underwater drones dapat bersembunyi di antara terumbu karang dan topografi dasar laut yang rumit.

Yang paling menakutkan adalah kemungkinan AI-enabled underwater warfare. Dalam lingkungan bawah laut di mana komunikasi real-time sangat terbatas, autonomous decision-making menjadi kebutuhan namun juga ancaman yang berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah.

BRIN perlu berkolaborasi dengan industri pertahanan untuk mengembangkan teknologi dual-use yang dapat digunakan untuk eksplorasi sumber daya alam sekaligus pertahanan maritim. Indonesia memiliki keunggulan dalam indigenous knowledge tentang karakteristik perairan lokal yang dapat diintegrasikan dengan teknologi modern.

Strategi 360 Derajat: Beyond Traditional Naval Power

Indonesia perlu mengembangkan doktrin maritim yang mengintegrasikan hard power dan soft power secara sinergis. Traditional naval power dengan kapal perang canggih tetap penting, namun harus dilengkapi dengan asymmetric capabilities dan economic leverage.

Konsep “Archipelagic State” memberikan Indonesia legitimasi hukum internasional untuk mengatur lalu lintas di perairan nasional. Namun legitimasi ini harus didukung oleh kemampuan enforcement yang kredibel dan sistem monitoring yang canggih.

Indonesia dapat mengembangkan coast guard yang kuat dengan teknologi maritime domain awareness terdepan. Kombinasi satelit, underwater sensors, drone patrols, dan AI analytics dapat memberikan real-time picture dari seluruh aktivitas di perairan Indonesia.

Yang lebih strategis, Indonesia perlu mengembangkan maritime diplomacy yang memanfaatkan posisi geografis untuk memediasi konflik regional. Seperti filosofi Jawa “Jer Basuki Mawa Beya” (untuk mencapai keselamatan diperlukan biaya), Indonesia harus berani menginvestasikan sumber daya untuk membangun kekuatan maritim yang kredibel.

Refleksi: Laut Sebagai Cermin Jati Diri

Di akhir eksplorasi tentang teknologi naval warfare dan posisi strategis Indonesia, muncul pertanyaan fundamental: apakah Indonesia benar-benar memahami makna “Jalesveva Jayamahe“?

Motto TNI AL yang berarti “Justru di Lautan Kita Menang” bukan sekadar slogan militer —melainkan reminder, ontologis tentang jati diri Indonesia sebagai bangsa bahari. Dalam bahasa Sansekerta, Jalesu (di laut), Eva (justru), Jayamahe (kita menang) mengandung wisdom mendalam: kemenangan Indonesia tidak terletak di darat yang terbatas, melainkan di laut yang tak bertepi.

Konflik Iran-Israel menunjukkan bagaimana negara dengan sumber daya terbatas dapat menggunakan teknologi dan strategi asimetris untuk memproyeksikan kekuatan jauh melampaui kapasitas konvensional. Iran dengan kapal pembawa drone dan strategi chokepoint, Israel dengan sistem laser naval dan kapal selam nuclear-capable—keduanya membuktikan bahwa maritime supremacy bukan tentang siapa yang memiliki armada terbesar, melainkan siapa yang paling cerdas dalam menggunakan teknologi dan geografi.

Indonesia memiliki semua keunggulan alamiah: chokepoints strategis, perairan kompleks yang menguntungkan defensive warfare, sumber daya alam maritim yang melimpah, dan sejarah bahari yang gemilang. Yang dibutuhkan adalah paradigm shift dari landlubber mentality menuju genuine maritime consciousness.

Penutup: Dari Paradoks Menuju Supremasi

Laut telah berbisik rahasia kepada mereka yang mau mendengarkan: bahwa dalam era globalisasi, kontrol atas jalur perdagangan adalah kontrol atas ekonomi dunia. Selat Hormuz yang sempit memberikan Iran leverage geopolitik yang disproportional. Bayangkan apa yang dapat dicapai Indonesia dengan tiga chokepoint vital dan posisi strategis di jantung perdagangan Asia.

Yang paling dalam dari Jalesveva Jayamahe adalah aspek temporalnya. Dalam bahasa Sansekerta, Jayamahe menggunakan present tense—”kita sedang menang”, bukan “kita akan menang”. Ini menunjukkan bahwa supremasi maritim Indonesia bukan visi masa depan, melainkan potensi aktual yang harus direalisasikan sekarang.

Teknologi naval warfare modern telah menurunkan barrier to entry untuk kekuatan maritim. Converted commercial vessels, drone swarms, electronic warfare, dan cyber capabilities memberikan peluang bagi Indonesia untuk membangun kekuatan asimetris yang efektif dengan biaya relatif rendah.

Namun teknologi tanpa strategi adalah sia-sia. Indonesia perlu mengembangkan doktrin maritim yang mengintegrasikan traditional naval power, asymmetric capabilities, economic leverage, dan maritime diplomacy dalam satu kesatuan yang koheren.

Seperti pepatah Bugis: “Resopa temmangingi malomo naletei pammase dewata” (Hanya dengan kerja keras kita dapat meraih pertolongan Tuhan). Dalam konteks maritim, kerja keras itu adalah komitmen untuk membangun supremasi laut yang tidak hanya kuat secara militer, tetapi juga bijaksana secara diplomatik dan berkelanjutan secara ekonomi.

Ketika gelombang sejarah bergerak menuju Asia Century, Indonesia tidak boleh menjadi penonton di teaternya sendiri. Saatnya Jalesveva Jayamahe berubah dari motto menjadi realitas, dari paradoks menjadi supremasi, dari mimpi menjadi kemenangan di lautan yang tak bertepi.

Karena seperti wisdom Nusantara mengajarkan: “Laut iku guru sing paling apik—ngajari sabar marang sing bisa diatur, wani marang sing ora bisa diatur.” (Laut adalah guru yang paling baik—ia mengajarkan sabar terhadap yang bisa diatur, dan berani terhadap yang tidak bisa diatur.)

Pertanyaannya sekarang: apakah Indonesia siap menjadi murid yang baik bagi guru yang telah menunggunya selama berabad-abad?…

Semoga bermanfaat…

JAYALAH INDONESIA, JAYALAH BANGSAKU, TANAMKAN CINTA NEGARA DI HATI KITA!!!

Tagged