“Bebaskan Indonesia dari jebakan ekonomi bangsa lain. Bangkitkan kesadaran bahwa Indonesia adalah negara kaya, dan jangan jadikan bangsa ini bagaikan tikus mati di lumbung padi.”
Presiden Prabowo menggarisbawahi bahwa kekayaan sumber daya alam harus dikelola secara bijak. Kepala Negara juga mengkritisi penerapan filosofi ekonomi neoliberal yang selama ini banyak diikuti oleh elite Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
“Selama 30 tahun terakhir, kita menyaksikan dominasi filosofi ekonomi neoliberal dan kapitalisme pasar bebas klasik. Elite Indonesia mengikuti filosofi ini, dan hasilnya kita belum berhasil menciptakan kesetaraan kesempatan bagi seluruh rakyat,” tutur Presiden Prabowo.
Demi mencapai Indonesia Makmur dan Berkeadilan marilah segenap anak bangsa turut memikirkan kemajuan negaranya. Untuk menggapai cita-cita besar Bangsa ini marilah kita sama-sama merenung:
Kompleksitas yang Terlupakan
GWS, 15 Juli 2025
Bayangkan: Anda seorang ekonom yang baru mendarat di Soekarno-Hatta setelah konferensi di Seoul. Di taksi menuju Jakarta, melewati perkebunan sawit yang membentang—hijau monoton yang menenangkan sekaligus meresahkan. Di saku, smartphone Samsung buatan Korea Selatan yang tak punya satu hektare sawit pun, namun GDP per kapitanya lima kali lipat Indonesia.
Ironi ini manifestasi dari “jebakan pendapatan menengah”—kondisi negara diberkahi “emas hijau” justru terjebak kemiskinan kompleksitas. Seperti pepatah Minang, “Aia jernih jan jauh dari pancuran“, kita terlalu lama jauh dari “pancuran” inovasi, asyik bermain di kubangan komoditas.
Permainan Scrabble Ekonomi
Profesor Ricardo Hausmann dari Harvard punya analogi unik: ekonomi negara seperti permainan Scrabble raksasa. Setiap negara punya “huruf” bernama kapabilitas produktif. Negara kaya memiliki huruf beragam, bisa menyusun “kata” panjang bernama produk kompleks. Negara miskin? Seperti pemain Scrabble cuma kebagian huruf vokal—bisa buat “AAA” atau “EEE”, tapi coba buat “TEKNOLOGI”, langsung angkat tangan.
Indonesia, dengan kebanggaan pada sawit, masih berkutat pada “kata pendek” ekonomi global. Minyak sawit mentah adalah produk ber-Indeks Kompleksitas rendah—seperti mengucap “mama” dalam dunia ekonomi. Lucu juga: negara bangga dengan Borobudur yang kompleksitasnya bikin arkeolog bergidik, kini puas produksi komoditas yang bisa dibuat hampir di mana saja.
Korea Selatan—dulu lebih miskin dari Indonesia tahun 1960-an—kini bermain Scrabble dengan huruf “teknologi semikonduktor” dan “ekosistem digital.” Mereka punya Samsung di saku kita, kita punya sawit yang berakhir di produk mereka sebagai bahan baku murah.
Sepuluh “Kata Panjang” yang Terlupakan
Ironinya, sementara kita perdebatkan ekspor sawit mentah, di laboratorium dunia para ilmuwan sudah menyusun “kata panjang” mengagumkan dari sawit kita. Seperti pemain Scrabble tak tahu huruf di depannya bisa jadi “EXTRAORDINARY.”
Dari Oleokimia ke Kosmetik: Asam palmitat dan alkohol lemak dari sawit jadi surfaktan shampoo L’Oréal. Value added empat kali lipat CPO—tapi yang nikmati margin? Pabrik di Singapura dan Malaysia, bukan petani Riau.
Dari Limbah jadi Material Canggih: Empty Fruit Bunch yang kita bakar mengandung 60% hemiselulosa—bahan baku bioplastik masa depan. CPO US$800/ton, bioplastik dari EFB US$3.000-5.000/ton. Bedanya? Yang satu butuh skill membakar, yang lain kimia polimer.
Dari Abu jadi Revolusi Konstruksi: Palm Oil Fuel Ash yang dianggap sampah bisa gantikan 12% semen, kurangi emisi CO2 hingga 62%. Era carbon pricing ketat, ini akses pasar global “hijau”—tapi berapa konstruksi Indonesia yang tahu POFA?
Dari Cangkang jadi Teknologi Penyimpanan: Palm Kernel Shell bisa jadi activated carbon dengan surface area 1.665 m²/g—teknologi penyimpan metana ramah lingkungan. Kapasitas 4.500 mol/kg, dijual US$15-20/kg. PKS kita? Dijual mentah US$50-80/ton.
Sepuluh industri hilir—oleokimia, makanan, kosmetik, konstruksi, energi, bioplastik, farmasi, tekstil, agrikultur—semua bisa “makan” dari satu pohon sawit. Tapi kita stuck level “pedagang asongan kacang rebus” sementara pabrik keripik meraup untung berlipat.
Jebakan Ayam-Telur dan Si Kabayan yang Mudah Puas
Masalah Indonesia bukan tak tahu diversifikasi penting. Masalahnya: bagaimana kembangkan industri hilir butuh keahlian spesifik jika keahlian belum ada karena industrinya belum berkembang? Seperti Si Kabayan terlalu lama berkutat mimpi harta karun, lupa harta sebenarnya di kemampuan mengolah yang sudah ada.
Teori Kompleksitas Ekonomi tawarkan jalan: bergerak ke produk “terdekat” dalam ruang produk global. Jika sawit titik awal, oleokimia dan biofuel generasi lanjut adalah “tetangga terdekat” dengan know-how yang kita miliki. Bukan lompatan jadi produsen smartphone—itu dari “mama” langsung ke “supercalifragilisticexpialidocious.”
Tapi yang miris: bukannya bergerak sistematis kembangkan kapabilitas hilir, kita terjebak debat politik ekspor bahan mentah versus larangan ekspor. Seperti bertengkar jual ikan segar atau asin, sementara tetangga buka restoran sushi kelas dunia.
Diaspora Kelapa Sawit dan Brain Gain Tercecer
Indonesia punya ribuan ahli oleokimia, biofuel, food processing tersebar di Malaysia, Singapura, Belanda. Mereka “huruf Scrabble” berharga tercecer di negara lain. Korea dan Taiwan berhasil manfaatkan diaspora untuk transfer teknologi—tidak hanya panggil pulang, tapi ciptakan ekosistem knowledge spillover.
Program brain gain kita? Sering jadi seremonial foto media sosial tanpa follow-up sistematis. Seperti undang chef terkenal ke festival kuliner tapi tak siapkan dapur memadai.
Ketika Vokal Negara Jadi Megafon Kosong
Teori Kompleksitas Ekonomi tekankan peran negara sebagai penyedia “vokal”—barang publik yang tak bisa disediakan pasar. Untuk transformasi sawit, negara harus sediakan standar kualitas, sertifikasi keberlanjutan, infrastruktur riset, regulasi pro-inovasi.
Sayangnya, “vokal” negara kita seperti megafon rusak—suara keras tapi pesan tak jelas. Regulasi berubah-ubah bikin investor bingung. Standar tak konsisten bikin produk sulit tembus pasar premium.
Bandingkan Singapura: tak punya sawit tapi jadi hub perdagangan dan processing terbesar dunia. Mereka sediakan “vokal” berupa regulasi jelas, infrastruktur logistik canggih, ekosistem finansial mendukung. Hasilnya? Value added sawit Indonesia “ditangkap” di Singapura.
Integrated biorefinery concept yang gabungkan semua produk hilir sawit bisa hasilkan ROI US$151,36 juta per fasilitas, kurangi emisi 80%. Bayangkan Indonesia punya 10 integrated biorefinery—potensi nilai tambah US$1,5 miliar/tahun. Yang terjadi? Sibuk debat B30 vs B40, sementara komponen lain diabaikan.
Menari Antara Kompleksitas dan Kesederhanaan
Indonesia di persimpangan. Diberkahi sumber daya sawit melimpah—asset awal tak dimiliki banyak negara. Tapi berkah bisa jadi kutukan jika terjebak comfort zone komoditas.
Teori Kompleksitas Ekonomi tawarkan roadmap jelas: bangun know-how bertahap dari yang sudah dikuasai. Jangan bermimpi lompat sawit ke semikonduktor, tapi jangan puas selamanya jual bahan mentah. Bangun jembatan kompleksitas: sawit ke oleokimia, oleokimia ke kosmetik-farmasi, food processing ke F&B premium.
Yang dibutuhkan bukan revolusi, melainkan evolusi terencana dengan cascade utilization—manfaatkan setiap komponen sawit bertingkat hingga tak ada yang terbuang. CPO untuk oleokimia, palm kernel cake untuk pakan, EFB untuk bioplastik, cangkang untuk activated carbon, abu POFA untuk beton ramah lingkungan.
Seperti membangun Borobudur—tak dibuat semalam, susun batu demi batu dengan visi jangka panjang jelas. Bedanya, Borobudur untuk kemuliaan spiritual, biorefinery sawit untuk kemuliaan ekonomi berkelanjutan.
Pertanyaannya: sanggupkah keluar dari zona nyaman “juragan sawit mentah” dan berevolusi jadi “arsitek kompleksitas ekonomi”? Ataukah terus bermain Scrabble huruf vokal saja, sementara negara lain menyusun puisi epik kemajuan?
Sudah waktunya berhenti tanya “berapa harga sawit hari ini?” dan mulai tanya “produk kompleks apa yang bisa dibuat dari sawit besok?” Masa depan bukan milik yang punya sumber daya terbanyak, melainkan yang paling pintar mengolah sumber daya jadi solusi kompleks masalah dunia.
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb. Dan semoga Si Kabayan tak lagi bermimpi menemukan harta karun, melainkan belajar cara membuatnya.