“Kalo Gak Mau Belajar, Bagaimana Mau Maju. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”
Oleh: Pasulukan Loka Gandasasmita
Sahabatku, kali ini kami mengajak semua anak bangsa untuk sama-sama belajar mengapa Negeri Cina bisa berubah total menjadi negara yang maju dan modern.
Di bawah pemerintahan Pak Prabowo dengan pandangan beliau yang futuristik, smart, bijak, seorang Nasionalis sejati yang tiap langkahnya mencerminkan cinta negaranya, cinta rakyatnya, cinta budaya dan bertekad kuat untuk menjadikan Indonesia Berdaulat, Makmur, Berkeadilan yang saat ini dunia internasional tidak memandang sebelah mata kepada Indonesia.
Namun demikian apabila hal ini tidak didukung oleh kemauan kuat untuk belajar dari Pemuda Indonesia sehebat apapun seorang Presiden tetap saja akan seperti bertepuk sebelah tangan dalam memajukan bangsa ini.
Mari kita ambil bait penuh spirit dari lagu Maju Tak Gentar yang dikumandangkan di Bastile 2025 Perancis yang bunyinya: “bergerak, bergerak, serentak, serentak, majulah, majulah, menang…!!!”
Mari bangkitkan jiwa pemuda kita, dengan mulai lagi memperkenalkan kepada anak-anak kita lagu kebangsaan dan lagu spirit Nasional yang telah lama dibuat layu tak berkembang oleh bangsa kita sendiri. Ingat selalu bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya…!! Tanpa membangun jiwa Merah Putih di dada kita maka kita akan jalan di tempat bahkan mundur ke belakang menjadi Negara Tanpa Identitas.
Belajar dari Deng Xiaoping sang reformis Cina yang merubah negaranya dengan membuahkan hasil menjadi negara maju yang modern:
Marilah kita merefleksi diri dari sebuah kisah Kabayan Saba Kota (Kabayan jalan-jalan ke kota) untuk belajar:
Si Kabayan Jual Sawah Demi Beijing
Refleksi 30 Hari Menjelang HUT ke-80 Kemerdekaan RI
GWS, 18 Juli 2025
Coba, bayangkan sebentar: Anda adalah Si Kabayan yang baru saja bilang ke Iteung, “Cing, jual sawah kita. Abdi hoyong ka China, rék ningali kumaha aranjeunna robah nagara tani jadi pabrik dunia.” Iteung melongo. “Sawah warisan ti buyut? Rék dijual keur naon?” Kabayan menunjukkan artikel tentang Economic Complexity Index China yang naik ke peringkat 21 global dengan skor 1.16. “Eta, aranjeunna ti nagara tani kawas urang, ayeuna jadi eksportir sagala rupa. Urang kudu diajar.“
Iteung menggeleng kepala. Dalam hatinya bergumam: “Geus jadi naon si Kabayan ieu? Hayang jual sawah pikeun nempo pabrik? Teu ka wareg ku ningali pabrik Korea jeung Vietnam teh?” (Sudah jadi apa si Kabayan ini? Mau jual sawah untuk lihat pabrik? Tidak puas lihat pabrik Korea dan Vietnam?)
Tapi Kabayan bersikeras. Di ujung amplop undangan tertulis: “Datanglah melihat bagaimana kami mengubah 1,4 miliar orang dari petani miskin menjadi pekerja pabrik yang memproduksi $3,7 triliun nilai tambah manufaktur—lebih besar dari gabungan AS, Korea Selatan, Jerman, dan Inggris.”
Terbang ke Beijing dengan Hati Penasaran
Di pesawat menuju Beijing, Kabayan merenung sambil manyun di ketinggian 35.000 kaki. “Ironis,” pikirnya, “urang jual sawah untuk belajar dari negara yang dulu sama-sama petani. Sekarang mereka bikin pesawat, kita masih nanam padi.” Tahun 1980, China masih produksi baja 36 juta ton dengan teknologi primitif. Sekarang? Mereka produser baja terbesar dunia, menyumbang 86% peningkatan produksi baja global.
Yang lebih nyesek: industri kimia China sekarang bernilai $1,5 triliun—hampir 40% dari pendapatan industri kimia global. R&D mereka di sektor kimia naik dari 22% total global (2012) jadi 34% (2022). Sementara kita? Masih impor pupuk untuk sawah yang baru aja dijual Kabayan.
Deng Xiaoping dan Sihir “Reform and Opening”
Sesampainya di Beijing, Kabayan diajak ke Museum Reformasi dan Keterbukaan yang didedikasikan untuk Deng Xiaoping. Guide-nya, Profesor Yuan, ekonom lulusan Harvard yang belajar langsung teori Hausmann, mulai bercerita tentang transformasi 1978. “Deng Xiaoping itu seperti Kabayan yang tiba-tiba sadar kalau tidur di sawah tidak akan mengubah sawah jadi pabrik,” ujar sang profesor dengan senyum simpul.
Tahun 1979, China menghadapi “ketidakseimbangan serius” dalam proporsi ekonomi: pertanian vs industri, industri ringan vs berat, bahan baku vs energi. Tapi mereka tidak ngeyel dengan ideologi. Mereka ngomong sederhana: 实事求是 (shì shì qiú shì)—cari kebenaran dari fakta.
Konferensi Kerja Pusat April 1979 mengajukan 12 prinsip untuk menyesuaikan hubungan proporsional ekonomi. Bukan seminar yang menghasilkan MoU kosong, tapi roadmap konkret: tingkatkan pertanian, kembangkan industri tekstil dan ringan, perkuat produksi batu bara, listrik, minyak, transportasi, dan bahan bangunan. Practical banget, tidak seperti rapat-rapat kita yang menghasilkan buzzword dan jargon.
Made in China 2025: Visi yang Bikin Gelisah
Yang bikin Kabayan merinding adalah strategi “Made in China 2025” yang diluncurkan Perdana Menteri Li Keqiang tahun 2015. Bukan cuma slogan, tapi rencana terukur: tingkatkan konten domestik dari bahan inti jadi 40% pada 2020 dan 70% pada 2025. Target yang ngeri-ngeri sedap—ambisi tinggi tapi realistis.
“Bandingkan dengan Indonesia Emas 2045,” kata si profesor sambil nyengir. “Mereka punya target spesifik dengan timeline jelas. Kita punya mimpi besar tanpa roadmap konkret.” China tidak bicara tentang “potensi besar” atau “negara maritim terbesar.” Mereka bicara tentang “konten domestik 70%” dan “nilai tambah manufaktur $3,7 triliun.”
Kabayan ngakak getir: “Kita punya visi 2045 yang abstrak, mereka punya visi 2025 yang konkret. Kita planning 20 tahun ke depan, mereka execution plan untuk 10 tahun.”
Transformasi Sektoral yang Bikin Nyali Ciut
Profesor itu kemudian menjelaskan evolusi product space China yang mind-blowing. Dari manufaktur tekstil sederhana tahun 1980-an, mereka secara sistematis bergerak ke produk-produk kompleks: elektronik, mesin, teknologi tinggi. Seperti monkey jumping dalam teori Hausmann—dari pohon ke pohon dalam product space forest.
Industri Baja: Dari Kuli Jadi Dalang
Era Primitif (1980): China produksi 36 juta ton baja dengan teknologi ngawur—konsumsi air 35,9 m³ per ton (sekarang standar dunia cuma 3-4 m³), efisiensi daur ulang air cuma 61,2%. “Waktu itu mereka seperti tukang pandai besi tradisional yang tiba-tiba diminta bikin pesawat,” kata si profesor.
Era Transformasi (1990-2010): Melalui program ambisius, China mengimpor teknologi dari Jepang dan Eropa, tapi tidak cuma copy-paste. Mereka modifikasi dan improvisasi. Hasilnya: produksi melonjak dari 100 juta ton (1996) jadi 570 juta ton (2009)—bahkan saat krisis finansial global!
Era Dominasi (2010-sekarang): China sekarang menyumbang 86% peningkatan produksi baja dunia dan menguasai 70% konsumsi global. Yang ngeri: mereka tidak cuma jadi produsen terbesar, tapi juga pengekspor teknologi. Perusahaan baja Eropa yang dulu mengajari China sekarang beli teknologi dari China.
Kabayan menggaruk kepala: Kita kapan ya jadi murid yang baik?”
Industri Kimia: Revolusi R&D yang Menakjubkan
Fase Substitusi Impor (1980-2000): China mulai mengimpor teknologi dan peralatan produksi kimia dari negara maju, fokus pada bahan kimia untuk pertanian dan industri dasar. Masih jadi follower, belum leader.
Fase Inovasi (2000-2020): Investasi R&D kimia China naik drastis. Dari 22% total R&D kimia global (2012) jadi 34% (2022). Itu bukan cuma angka—itu bukti China mengubah diri dari kopian jadi kreator.
Fase Market Leadership (2020-sekarang): Industri kimia China bernilai $1,5 triliun—hampir 40% pendapatan industri kimia global. Mereka tidak cuma memproduksi bahan kimia basic, tapi juga specialty chemicals dan advanced materials untuk teknologi tinggi. Perusahaan kimia Jerman dan Amerika yang dulu dominan sekarang harus bersaing ketat dengan perusahaan China.
“Mereka berhasil mengubah posisi dari price taker jadi price maker,” jelas si profesor. “Dulu mereka terima harga yang ditetapkan pasar, sekarang mereka yang menentukan harga pasar.”
Industri Otomotif: Dari Penonton Jadi Pemain Utama
Era Assembling (1980-2000): China cuma jadi tempat perakitan mobil asing. Volkswagen, General Motors, Toyota datang untuk memanfaatkan tenaga kerja murah. China dapat upah, tapi tidak dapat teknologi.
Era Joint Venture (2000-2015): Pemerintah China paksa perusahaan asing buat joint venture dengan perusahaan lokal. Syaratnya: technology transfer. Pelan-pelan, perusahaan China belajar cara bikin mobil yang bener.
Era Electric Revolution (2015-sekarang): China tidak cuma jadi pasar mobil terbesar dunia dalam penjualan dan kepemilikan, tapi juga game changer dalam electric vehicle. BYD sekarang saingan serius Tesla. CATL menguasai 37% pasar baterai mobil listrik global. Mereka tidak cuma assembly lagi, tapi innovating.
Yang bikin Kabayan melongo: “Mereka loncat dari jadi tukang rakit mobil jadi ahli bikin baterai mobil masa depan. Sementara kita… “
Industri Perkapalan: Prediksi yang Jadi Kenyataan
The Bold Prediction (2009): Perdana Menteri Zhu Rongji dengan PD bilang China akan jadi pembuat kapal terdepan di dunia pada 2015. Waktu itu banyak yang skeptis—soalnya industri perkapalan didominasi Korea Selatan, Jepang, dan Eropa sejak puluhan tahun.
Strategic Execution (2009-2015): China tidak cuma bicara, tapi execute. “Rencana Penyesuaian dan Revitalisasi Industri Perkapalan” diluncurkan sebagai roadmap konkret. Investasi masif dalam teknologi, pelatihan SDM, dan pembangunan galangan kapal modern.
Mission Accomplished (2015-sekarang): Done! China sekarang dominan dalam shipbuilding global. Mereka tidak cuma bikin kapal konvensional, tapi juga kapal dengan teknologi green and smart. Galangan kapal di Scotland dan Jerman yang dulu legendaris sekarang kebagian order sisa.
Yang paling impressive: China melakukan “pergeseran sektor menuju perkapalan yang hijau dan cerdas”—mereka tidak cuma mengikuti tren, tapi menciptakan tren baru dalam industri perkapalan dunia.
Kabayan ngelus dada: “Mereka bilang mau jadi nomor satu dalam 6 tahun, dan beneran tercapai. Kita bilang mau jadi Indonesia Emas 2045… 20 tahun lagi masih entah gimana.”
Green Revolution: Dari Sandstorm Jadi Green Wall
Yang bikin Kabayan makin kagum adalah cerita tentang Great Green Wall of China. “Dulu Beijing sering kena badai pasir dari Gurun Gobi sampai langit jadi kuning kayak kunyit,” cerita si profesor sambil nunjukin foto-foto lama Beijing yang suram. “Sekarang? Mereka udah nanam 66 miliar pohon dalam 40 tahun terakhir—equivalent dengan 1.600 pohon per orang.”
Program afforestation China tidak main-main: mereka tambah tutupan hutan dari 12% (1980) jadi 23% (2020). Beijing sekarang dikelilingi green belt seluas 1,2 juta hektar. Hasilnya? Badai pasir yang dulu rutin sekarang jadi langka. “Mereka tidak cuma bikin pabrik, tapi juga bikin carbon sink untuk offset emisi industrinya,” jelas si profesor.
Kabayan geleng-geleng: “Kita tutupan hutan malah berkurang gara-gara deforestasi. Mereka nambah tutupan hutan sambil industrialisasi. Multitasking tingkat dewa.”
Poluter yang Menjadi Climate Champion
Solar PV Dominance: China menguasai 80% rantai pasokan panel surya global. Mereka tidak cuma assembling, tapi menguasai seluruh value chain dari silicon purification sampai module production. Kapasitas solar China 260 GW—lebih besar dari total kapasitas listrik Indonesia.
Wind Power Leadership: China punya 75% kapasitas wind turbine dunia. Mereka bikin turbin angin offshore terbesar dunia dengan kapasitas 18 MW per unit. “Satu turbin mereka bisa supply listrik untuk 25.000 rumah,” kata si profesor. “Kita satu PLTD bisa blackout se-kota.”
Battery & ESS Revolution: CATL dan BYD menguasai 50% pasar baterai global. Mereka tidak cuma bikin baterai mobil, tapi juga Energy Storage System skala grid untuk stabilisasi jaringan listrik. China sekarang punya 35 GW kapasitas battery storage—equivalent dengan 35 PLTU batubara.
Smart Grid Innovation: China membangun smart grid terbesar dunia dengan 1,1 miliar smart meter. Mereka bisa monitor dan optimize konsumsi listrik real-time untuk 1,4 miliar orang. “Kita PLN masih sering padam, mereka udah bisa prediksi padam sebelum terjadi,” sindir si profesor.
Nuclear Innovation: Yang paling gila adalah Small Modular Reactor (SMR) mereka. China sedang kembangkan reaktor nuklir portable yang bisa dipasang di pulau-pulau terpencil. “Mereka bikin nuklir yang bisa dicontainerize, kita masih debat soal PLTN Bangka Belitung,” gumam Kabayan.
R&D Gila-Gilaan: Dari Rare Earth ke Fusion
Rare Earth Monopoly: China menguasai 85% produksi rare earth metals dunia—bahan baku esensial untuk teknologi modern dari smartphone sampai missile. Mereka tidak cuma punya deposit terbesar, tapi juga teknologi processing paling canggih. “Tanpa rare earth China, iPhone tidak bisa ada,” kata si profesor. “Mereka pegang choke point teknologi global.”
Fusion Breakthrough: Yang bikin Kabayan jantungan adalah program EAST (Experimental Advanced Superconducting Tokamak) China yang berhasil mempertahankan plasma 120 juta°C selama 101 detik. “Mereka udah mulai eksperimen reaktor fusi—energi masa depan yang unlimited,” jelas si profesor. “Sementara kita masih debat PLTN konvensional yang pake fisi.”
Quantum Computing: China punya komputer kuantum “Jiuzhang” yang 100 triliun kali lebih cepat dari supercomputer klasik. Mereka sedang racing dengan Google dan IBM untuk mencapai quantum supremacy. “Kita masih susah internet 4G stabil, mereka udah main di level kuantum,” keluh Kabayan.
Infrastruktur Gila: Maglev sampai C919
High-Speed Rail Network: China punya 42.000 km rel kereta cepat—70% dari total dunia. Beijing-Shanghai (1.300 km) ditempuh dalam 4,5 jam dengan kecepatan rata-rata 300 km/jam. Mereka berhasil membangun seamless connectivity untuk 1,4 miliar orang.
Maglev Technology: Shanghai Maglev Train mencapai 430 km/jam dengan teknologi magnetic levitation. “Kereta mereka melayang di udara tanpa roda menyentuh rel,” kata si profesor sambil cengar-cengir. “Kita baru punya satu KCIC Jakarta-Bandung hasil bantuan mereka, mereka udah punya 42.000 km rel kereta cepat di seluruh negeri.”
Bridge Engineering: China bikin jembatan terpanjang dunia—Danyang–Kunshan Grand Bridge (165 km). Mereka juga punya teknologi jembatan cable-stayed dan suspension paling canggih. “Jembatan Suramadu 5,4 km aja jadi headline, mereka bikin jembatan 165 km kayak bikin overpass,” sindir Kabayan.
Commercial Aviation: COMAC C919 adalah pesawat komersial buatan China yang bersaing langsung dengan Boeing 737 dan Airbus A320. “Mereka tidak cuma assembling pesawat asing, tapi bikin pesawat sendiri dengan teknologi indigenous,” jelas si profesor. “Kita N219 masih prototipe, mereka C919 udah terbang komersial.”
Space Program: Tanpa Drama, Tanpa Gembar-Gembor
Tiangong Space Station: China punya stasiun luar angkasa sendiri yang operational sejak 2021. Mereka berhasil launch dan return astronot berkali-kali tanpa drama. “Tidak seperti program luar angkasa lain yang sering gagal dan jadi headlines, China diam-diam membangun kehadiran di luar angkasa,” kata si profesor.
Mars & Moon Missions: Chang’e 4 adalah misi pertama yang berhasil landing di sisi gelap bulan. Zhurong rover berhasil explore Mars. “Mereka tidak gembar-gembor di media, tapi achievement-nya solid,” lanjut si profesor.
Satellite Constellation: BeiDou adalah sistem GPS China yang compete dengan GPS Amerika dan GLONASS Rusia. Mereka punya 35 satelit yang cover seluruh dunia dengan akurasi tinggi. “Kita masih bergantung GPS Amerika, mereka udah punya GPS sendiri,” keluh Kabayan.
Yang bikin Kabayan terpana: semua program space China dilakukan tanpa drama berlebihan. Tidak ada live stream spektakuler atau media hype. “Mereka low profile tapi high impact—seperti orang Tionghoa pada umumnya,” simpul si profesor.
Kabayan melongo: “Mereka tidak cuma masuk industri baru, tapi langsung jadi pemimpin. Seperti murid baru yang langsung jadi ketua kelas, sementara murid lama jadi penonton.”
Economic Complexity: Dari Periphery ke Core
Yang paling bikin Kabayan nyengir adalah penjelasan tentang pergerakan China dalam product space. Tahun 1980, China berada di “periphery”—cuma bisa produksi barang sederhana dengan kompleksitas rendah. Sekarang mereka di peringkat 21 Economic Complexity Index dengan skor 1.16, berhasil pindah ke “dense core” product space.
“Itu artinya apa?” tanya Kabayan polos.
“Artinya mereka sekarang bisa produksi barang-barang rumit yang cuma bisa dibuat beberapa negara saja,” jelas si profesor. “Dari produksi sandal jepit dan kaos oblong, sekarang mereka produksi supercomputer dan rocket. Dari eksportir barang murah, jadi eksportir teknologi canggih.”
Yang bikin hebat: China melakukan “unrelated diversification” dengan sukses. Dari pertanian loncat ke industri berat, dari industri berat ke teknologi tinggi, dari teknologi tinggi ke artificial intelligence. Setiap lompatan dilakukan dengan strategi yang well-calculated.
Investasi untuk Masa Depan
Kabayan tercengang ketika mendengar angka investasi R&D China. Tidak seperti kita yang R&D-nya masih sebatas research tanpa development, mereka benar-benar mengubah riset jadi produk komersial. Industri kimia China: R&D 34% dari total global. Itu bukan cuma angka, tapi bukti komitmen mengubah ekonomi dari resource-based jadi knowledge-based.
“Kita bangga punya 17.000 pulau, mereka bangga punya 1,4 miliar otak yang produktif,” gumam Kabayan sambil ngilu. “Kita investasi di infrastruktur fisik, mereka investasi di infrastruktur mental.”
Bersambung…