“Mencapai Indonesia Emas 2045 tidaklah membutuhkan pemimpin yang sempurna. Yang dibutuhkan negara kita adalah rakyat yang harus selalu ingat bahwa kemajuan hanya akan dicapai dengan pengorbanan”
Indonesia Emas 2045 cuma mimpi atau akan terwujud?
Dalam lamunan Kabayan bertanya kenapa banyak negara yang gagal mencapai cita-cita menggapai masa keemasan ya? Apa yang membuat mereka gagal?”
Kemudian Kabayan mengingat diskusi di Harvard yang kuliahnya hasil dia jual sawah tentang “Mereka gagal karena tidak berhasil membangun institutional framework yang mendukung transformasi berkelanjutan. Mereka terjebak dalam politics of the moment, bukan politics of the future.“
Ini menjadi peringatan bagi Indonesia: memiliki sumber daya alam dan populasi besar tidak menjamin kesuksesan. Yang menentukan adalah kemampuan untuk membangun institusi dan kebijakan yang mendukung transformasi jangka panjang.
Yuk kita lanjutkan tentang lamunan Kabayan, semoga bermanfaat!
Si Kabayan dan Jalan Menuju Indonesia Emas 2045
Refleksi 27 Hari Menjelang HUT ke-80 Kemerdekaan RI
GWS, 21 Juli 2025
Coba, bayangkan sebentar: Anda adalah Kabayan yang duduk di kereta bandara menuju Jakarta sambil menatap ponsel yang menampilkan berita tentang target “Indonesia Emas 2045.” Dalam layar tertulis angka-angka yang megah: GDP per kapita USD 30.000, pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,7% hingga 2045, Indonesia masuk kategori negara maju. Kabayan tersenyum getir—setelah perjalanan ke Vietnam, Korea, Tiongkok, kuliah di Harvard, dan bertapa di Ciptagelar, ia tahu persis betapa besar kesenjangan antara mimpi dan kenyataan.
“Target yang cantik,” gumamnya sambil mengingat grafik Economic Complexity Index di ruang seminar Prof. Hausmann. “Tapi apakah kita tahu jalan menuju ke sana?”
Aritmatika Brutal: 5,7% Itu Bukan Main-Main
Di dalam gerbong kereta yang bergetar, Kabayan mengeluarkan kalkulator ponsel dan mulai menghitung. Untuk mencapai GDP per kapita USD 30.000 pada 2045 dari posisi saat ini sekitar USD 4.700, Indonesia butuh pertumbuhan rata-rata 5,7% per tahun selama 20 tahun. “Itu artinya,” bisiknya sambil mengetik angka, “ekonomi Indonesia harus tumbuh lebih konsisten dari Vietnam (5,5%), lebih stabil dari India (5,8%), dan hampir setara dengan Tiongkok era 2000-2020.”
Yang membuat perhitungan ini mengerikan: negara-negara yang berhasil mencapai pertumbuhan berkelanjutan di atas 5% per tahun adalah mereka yang melakukan transformasi struktural dalam product space. Korea berhasil karena melompat dari tekstil ke semikonduktor. Tiongkok berhasil karena bergerak dari pertanian ke manufaktur canggih. Vietnam berhasil karena naik dari beras ke elektronik.
“Sementara kita?” Kabayan menatap keluar jendela ke arah perkebunan sawit yang monoton. “Masih berharap bisa tumbuh 5,7% dengan menggali lubang lebih dalam di komoditas yang sama.”
Hausmann dan Roadmap yang Terlupakan
Kabayan mengingat kembali kuliah di Growth Lab Harvard tentang hubungan antara Economic Complexity dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Prof. Hausmann menunjukkan korelasi yang sangat kuat: negara dengan ECI tinggi tidak hanya punya pendapatan per kapita tinggi, tetapi juga pertumbuhan yang lebih stabil dan berkelanjutan.
“Korea dengan ECI 1,83 bisa mempertahankan pertumbuhan tinggi hingga mencapai status negara maju,” kata Hausmann saat itu. “Tiongkok dengan ECI 1,16 masih punya ruang besar untuk tumbuh. Vietnam dengan ECI yang naik konsisten punya prospek bagus untuk dekade mendatang.”
“Dan Indonesia?” Kabayan ingat bagaimana suaranya bergetar saat bertanya.
“Indonesia dengan ECI -0,41 akan kesulitan mempertahankan pertumbuhan tinggi tanpa transformasi struktural,” jawab Hausmann blak-blakan. “Negara dengan kompleksitas rendah cenderung mengalami growth slowdown di pendapatan menengah.”
Inilah yang membuat target 5,7% begitu menantang. Tanpa transformasi struktural dalam product space, Indonesia akan mengalami middle-income trap—fenomena di mana negara terjebak di pendapatan menengah karena tidak mampu bersaing dengan negara berpendapatan rendah (upah murah) maupun negara maju (teknologi tinggi).
Dilema Temporal: 20 Tahun yang Terlalu Singkat
Yang membuat Kabayan semakin gelisah adalah dimensi waktu. Dua puluh tahun untuk mencapai status negara maju adalah timeline yang sangat agresif dalam konteks transformasi ekonomi. Korea butuh 30 tahun (1960-1990) untuk melompat dari negara berkembang ke maju. Tiongkok sudah 45 tahun (1980-sekarang) dalam proses transformasi dan belum sepenuhnya maju. Vietnam baru 15 tahun dalam fase take-off dan masih butuh 15-20 tahun lagi.
“Apakah Indonesia bisa mencapai dalam 20 tahun apa yang orang lain capai dalam 30-40 tahun?” Kabayan bertanya pada dirinya sendiri. “Atau kita akan mengulangi kesalahan yang sama: target megah tanpa roadmap jelas?”
Kabayan mengingat diskusi dengan para founding fathers di Ciptagelar tentang empat pilar kegagalan Indonesia: pendidikan yang salah arah, meritokrasi yang rusak, integritas yang terkikis, dan oligarki yang menguat. Keempat masalah ini tidak bisa diselesaikan secara bertahap—mereka harus dirombak bersamaan dalam waktu yang sangat terbatas.
Product Space dan Lompatan yang Diperlukan
Dari kuliah Prof. Hausmann, Kabayan memahami bahwa untuk mencapai pertumbuhan 5,7%, Indonesia harus melakukan “unrelated diversification“—melompat ke produk-produk yang tidak berkaitan langsung dengan ekspor saat ini. Seperti Korea yang melompat dari tekstil ke semikonduktor, atau Tiongkok yang melompat dari sepeda ke smartphone.
Masalahnya: lompatan semacam itu memerlukan “capabilities” yang tidak dimiliki Indonesia saat ini. Untuk masuk ke industri semikonduktor, Indonesia butuh ekosistem riset yang kuat, SDM teknik tingkat tinggi, infrastruktur teknologi canggih, dan budaya inovasi. Untuk masuk ke ekonomi digital, Indonesia butuh programmer berkelas dunia, startup yang scalable, venture capital yang sophisticated, dan regulasi yang suportif.
“Apakah 20 tahun cukup untuk membangun semua capabilities itu?” Kabayan bergidik mengingat kenyataan bahwa Indonesia bahkan belum berhasil mengembangkan industri hilir sawit secara optimal, padahal sudah punya raw material berlimpah.
Vietnam sebagai Benchmark Realistis
Yang membuat Kabayan sedikit optimis adalah benchmarking dengan Vietnam. Jika Vietnam bisa tumbuh rata-rata 6,2% dalam 15 tahun terakhir sambil melakukan transformasi struktural, secara teoritis Indonesia juga bisa. Vietnam membuktikan bahwa negara dengan starting point yang rendah bisa melakukan lompatan dalam product space dengan strategi yang tepat.
Tetapi Vietnam memiliki keunggulan yang tidak dimiliki Indonesia: kedisiplinan birokrasi warisan sosialis, fokus yang tidak terganggu politik elektoral, dan ukuran ekonomi yang memungkinkan transformasi cepat. Indonesia dengan 280 juta penduduk, 38 provinsi, dan sistem demokrasi yang sering chaotic akan menghadapi kompleksitas yang jauh lebih besar.
Skenario Optimis: Jika Indonesia Benar-Benar Serius
Kabayan mencoba membayangkan skenario di mana Indonesia benar-benar menerapkan pembelajaran dari perjalanannya. Berdasarkan teori Hausmann dan pengalaman negara-negara sukses, roadmap menuju Indonesia Emas 2045 akan terlihat seperti ini:
Fase 1 (2025-2030): Foundation Building
- Revolusi pendidikan untuk menghasilkan SDM yang capable dalam produk kompleks
- Pembersihan besar-besaran birokrasi untuk menegakkan meritokrasi di semua sektor dan lini
- Berantas korupsi dengan cara yang konsisten dan brutal
- Pembatasan kekuatan oligarki dalam mengendalikan kebijakan ekonomi
Fase 2 (2030-2035): Structural Transformation
- Masif industrialisasi hilir berbasis mineral (baja, tembaga, aluminum, baterai, semikonduktor, energi terbarukan)
- Pengembangan ekonomi digital dengan fokus pada ekspor jasa
- Transformasi pertanian dari komoditas ke produk olahan bernilai tinggi. Berikan perhatian khusus untuk sawit dan perikanan
- Integrasi dalam rantai nilai global di sektor-sektor strategis
Fase 3 (2035-2045): Innovation Economy
- Transisi dari perakitan ke design and innovation
- Ekspor teknologi dan intellectual property
- Regional leadership dalam green technology dan sustainable development
- Fully integrated knowledge-based economy
“Skenario yang indah,” gumam Kabayan. “Tapi apakah political will dan social cohesion Indonesia cukup kuat untuk menjalani transformasi yang begitu menyakitkan?”
Reality Check: Jebakan Politik Elektoral
Yang membuat Kabayan pesimis adalah sistem politik Indonesia yang cenderung short-termis. Transformasi struktural membutuhkan kebijakan yang konsisten selama 20 tahun, sementara siklus politik Indonesia hanya 5 tahun. Setiap pemilu baru berpotensi mengubah prioritas pembangunan, mengganti teknokrat yang competent, dan mengorbankan program jangka panjang demi popularitas jangka pendek.
Vietnam dan Tiongkok berhasil karena mereka bisa mempertahankan konsistensi kebijakan lintas generasi. Korea berhasil karena meski berganti pemimpin, visi pembangunan ekonomi tidak berubah drastis. Singapura berhasil karena sistem politik yang memungkinkan long-term planning.
“Apakah Indonesia bisa keluar dari siklus ganti menteri ganti kebijakan?” Kabayan mengingat bagaimana hampir setiap menteri ekonomi punya program unggulan sendiri yang sering contradictory dengan pendahulunya.
Tantangan Struktural: Path Dependency
Yang paling menakutkan dalam analisis Kabayan adalah path dependency—kecenderungan ekonomi untuk terjebak dalam lintasan yang sudah terbentuk. Indonesia sudah 50 tahun berkembang sebagai resource-based economy. Sistem politik, institusi ekonomi, dan bahkan mindset masyarakat sudah terbentuk untuk mengoptimalkan ekstraksi sumber daya, bukan pembangunan capabilities.
Mengubah path dependency membutuhkan shock therapy yang massif—seperti yang dilakukan Korea dengan Heavy Chemical Industrialization atau Tiongkok dengan Reform and Opening. Pertanyaannya: apakah sistem politik Indonesia yang relatif demokratis bisa menjalani shock therapy tanpa social disruption yang besar?
Pelajaran dari Kegagalan: Brazil dan Argentina
Kabayan mengingat contoh-contoh negara yang gagal mencapai status maju meski punya potensi besar. Brazil yang terjebak di middle-income trap meski punya sumber daya alam melimpah dan industri yang cukup maju. Argentina yang bahkan mengalami deindustrialisasi meski pernah menjadi salah satu negara terkaya dunia di awal abad 20.
“Apa yang membuat mereka gagal?” Kabayan mengingat diskusi tentang hal ini di Harvard. “Mereka gagal karena tidak berhasil membangun institutional framework yang mendukung transformasi berkelanjutan. Mereka terjebak dalam politics of the moment, bukan politics of the future.”
Ini menjadi peringatan bagi Indonesia: memiliki sumber daya alam dan populasi besar tidak menjamin kesuksesan. Yang menentukan adalah kemampuan untuk membangun institusi dan kebijakan yang mendukung transformasi jangka panjang.
Call to Action: Window of Opportunity yang Menyempit
Saat kereta memasuki Stasiun Gambir, Kabayan merasakan urgency yang mendalam. Window of opportunity untuk transformasi ekonomi Indonesia sedang menyempit. Demographic dividend akan mencapai puncak pada 2030-2035—setelah itu rasio dependency akan mulai naik. Global economy sedang mengalami reshuffling akibat teknologi digital dan transisi energi—negara yang tidak ikut transformasi akan tertinggal permanen.
Yang lebih penting: generasi yang saat ini berusia 30-40 tahun adalah generasi terakhir yang bisa memimpin transformasi ini. Mereka masih punya energi, idealism, dan kemampuan untuk belajar hal-hal baru. Jika generasi ini gagal, generasi berikutnya akan mewarisi sistem yang sudah too heavy to suceed.
Epilog: Antara Mimpi dan Kenyataan
Kabayan turun dari kereta dengan hati berat namun tekad yang bulat. Ia tahu bahwa target Indonesia Emas 2045 dengan GDP per kapita USD 30.000 bukan sekadar angka statistik—itu adalah simbol apakah Indonesia akan menjadi negara maju atau selamanya terjebak sebagai supplier bahan baku bagi negara lain.
Perjalanan ke Vietnam, Korea, Tiongkok, kuliah di Harvard, dan kontemplasi di Ciptagelar telah mengajarkannya bahwa transformasi ekonomi bukan tentang keberuntungan atau takdir, tetapi tentang pilihan yang sulit dan konsisten. Setiap negara yang berhasil melakukan lompatan harus membayar harga yang mahal: mengorbankan comfort zone, mengubah sistem yang sudah established, dan bertahan dengan kebijakan yang menyakitkan dalam jangka pendek.
Pertanyaan terakhir yang berkecamuk di kepala Kabayan—dan seharusnya di kepala setiap warga Indonesia—adalah: apakah kita siap membayar harga transformasi yang sesungguhnya? Ataukah kita akan terus bermimpi tentang Indonesia Emas 2045 sambil mempertahankan mindset dan sistem yang menjamin kegagalan?
Prof. Hausmann sudah memberikan roadmap yang jelas: “move from the periphery to the core of the global product space”. Vietnam sudah membuktikan bahwa itu mungkin. Korea sudah menunjukkan bagaimana caranya. Tiongkok sudah memperlihatkan skalanya.
Sekarang giliran Indonesia untuk memilih: transformasi yang menyakitkan tetapi membawa pada kemajuan, atau zona nyaman yang nyaman tetapi membawa pada kemunduran.
Sawah Kabayan sudah terjual. Pelajarannya sudah lengkap. Yang tersisa adalah pertanyaan: apakah Indonesia juga siap “menjual sawah”—meninggalkan zona nyaman resource extraction—demi masa depan yang lebih baik?
Indonesia Emas 2045 menunggu bukan janji politik, tetapi keputusan kolektif untuk bertransformasi.
Wallahu a’lam bish-shawab.
“Republik ini tidak butuh pemimpin yang sempurna, tetapi warga yang berhenti pura-pura lupa bahwa kemajuan memerlukan pengorbanan.”
_________
* Catatan Terakhir dari Si Kabayan yang Sudah Tidak Lagi Tidur di Sawah.