“Kabayan Diajar Sajarah Nagara: Refleksi pengingat keberhasilan para pemimpin Indonesia yang telah membawa negaranya terhormat, disegani, berdaulat, kemakmuran yang merata, contoh pemimpin yang diagungkan rakyatnya.”
Sejarah untuk Kebangkitan Indonesia
Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya !!!
Pentingnya sejarah bagi generasi muda adalah untuk membangun identitas nasional, memahami akar budaya, mengembangkan pemikiran kritis, dan belajar dari kesalahan masa lalu. Mempelajari sejarah membantu generasi muda terhubung dengan masa lalu, memahami nilai-nilai yang diwariskan, dan mempersiapkan diri menghadapi tantangan masa depan.
Sejarah tidak pernah mengulang dirinya persis, tapi pola kegagalan bisa terulang jika kita tidak belajar dari masa lalu.
Kabayan Bertemu Sang Bapak Pembangunan: The Indonesian LKY Who Never Was
Refleksi 25 Hari Menjelang HUT ke-80 Kemerdekaan RI
GWS, 23 Juli 2025
Coba, bayangkan sebentar: Anda adalah Kabayan yang baru saja pulang dari Singapura dengan kepala masih penuh pelajaran dari LKY, tiba-tiba ponsel berdering. Nomor tak dikenal dengan kode area 021. Suara di seberang terdengar formal namun familiar.
“Selamat siang, Pak Kabayan. Saya dari Tim Protokol Istana. Bapak diminta hadir besok pagi jam 8 di Istana Merdeka untuk audience khusus dengan Presiden Soeharto. Dresscode: baju batik nasional, sepatu hitam mengkilap.”
Kabayan hampir menjatuhkan ponsel. “Eh, maaf, Soeharto? Bukannya beliau sudah…”
“Sudah wafat? Betul. Tapi besok Anda akan menyaksikan momen-momen penting era Orde Baru. Datang saja jika ingin memahami mengapa Indonesia tidak menjadi Singapura, meski starting pointnya hampir sama.”
Perjalanan ke Istana Merdeka, 15 Maret 1967
Taksi yang menjemput Kabayan ternyata Toyota Corona hitam era 1960-an dengan plat merah. Sopirnya mengenakan seragam yang rapi dan berbicara dengan logat Jawa halus. “Selamat pagi, Pak. Hari ini kita akan menyaksikan pengambilan keputusan yang menentukan nasib bangsa untuk 32 tahun ke depan.”
Jakarta yang dilihat Kabayan sangat berbeda: jalanan berlubang, bangunan kolonial yang kusam, becak berseliweran, dan yang paling mencolok—tidak ada mal, tidak ada gedung pencakar langit, tidak ada kemacetan seperti sekarang. Ini Jakarta tahun 1967, dua tahun setelah G30S, saat Indonesia masih terpuruk dalam chaos ekonomi dan politik.
“Pak Sopir, ini benar-benar tahun 1967?”
“Betul, Pak. Inflasi 650%, cadangan devisa kosong, infrastruktur rusak parah. Tapi hari ini, Pak Soeharto akan bertemu dengan tim ekonom Berkeley yang akan menentukan arah pembangunan. Pilihan yang dibuat hari ini akan mengubah sejarah.”
Audiensi dengan Sang Bapak Pembangunan
Di ruang kerja Presiden yang sederhana, Kabayan disambut oleh sosok yang familiar dari buku-buku sejarah: Soeharto muda berusia 46 tahun, masih mengenakan seragam militer, dengan mata yang tajam dan postur tegap. Di sekelilingnya duduk para ekonom yang kelak dikenal sebagai “Berkeley Mafia”: Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Mohammad Sadli.
“Selamat pagi, Saudara Kabayan,” sapa Soeharto dengan suara tegas namun ramah. “Saya dengar Anda baru bertemu dengan Lee Kuan Yew. Kebetulan kami sedang membahas strategi pembangunan nasional. Mari bergabung.”
Kabayan duduk di kursi pojok, mengamati diskusi yang akan menentukan masa depan Indonesia. Widjojo sedang mempresentasikan dua opsi pembangunan dengan chart sederhana di papan tulis kayu.
“Pak Presiden,” kata Widjojo dengan kacamata tebalnya, “kita punya dua pilihan. Pertama: industrialisasi substitusi impor seperti Korea dan Taiwan. Kedua: ekspor komoditas untuk stabilisasi ekonomi jangka pendek.”
Soeharto mengerutkan kening. “Jelaskan lebih detail, Pak Widjojo.”
Pilihan Pertama: Industrialisasi ala Korea-Taiwan
Widjojo menunjuk chart pertama. “Jika kita pilih industrialisasi, kita harus investasi masif dalam pendidikan teknik, membangun infrastruktur manufaktur, dan menarik investasi asing dengan teknologi transfer. Contohnya Korea: mereka memulai dengan tekstil, naik ke baja, kemudian elektronik.”
Emil Salim menambahkan, “Model ini butuh disiplin fiskal ketat, Pak. Subsidi harus diarahkan ke sektor produktif, bukan konsumsi. Dan yang paling penting: kita harus tahan dengan tekanan politik karena hasilnya baru terasa 10-15 tahun.”
Ali Wardhana meneruskan, “Plus, kita harus berani konfrontasi dengan kepentingan bisnis yang sudah ada. Banyak konglomerat akan menolak karena industrialisasi mengancam sistem perdagangan impor mereka.”
Soeharto mengangguk perlahan. “Risiko politiknya?”
Mohammad Sadli menjawab, “Besar, Pak. Rakyat akan protes karena kebijakan austerity. Pengusaha akan marah karena privilege mereka dikurangi. Militer mungkin tidak setuju karena anggaran pertahanan tertekan.”
Pilihan Kedua: Ekstraksi Sumber Daya
Widjojo menunjuk chart kedua. “Alternatifnya: fokus pada ekspor sumber daya alam. Kita punya minyak, gas, hasil hutan, mineral. Pendapatan bisa langsung untuk stabilisasi ekonomi dan infrastruktur dasar.”
“Keuntungannya?” tanya Soeharto.
Ali Wardhana menjawab, “Cepat, Pak. Dalam 2-3 tahun, kita bisa stabilkan inflasi, bangun jalan, listrik, telekomunikasi. Rakyat langsung merasakan perbaikan. Dukungan politik terjamin.”
“Risikonya?”
Emil Salim terlihat ragu-ragu. “Jangka panjang, Pak. Kalau harga komoditas turun, ekonomi kita rawan. Plus, ekstraksi sumber daya alam tidak membangun kemampuan SDM seperti manufaktur.”
Mohammad Sadli menambahkan dengan hati-hati, “Dan ada risiko… Dutch Disease. Ketergantungan pada sumber daya alam bisa membuat sektor lain tidak kompetitif.”
Momen Keputusan yang Menentukan Sejarah
Soeharto berdiri, berjalan ke jendela yang menghadap Monas. Jakarta tahun 1967 tampak sepi dan kumuh dibanding hiruk-pikuk sekarang.
“Saudara Kabayan,” kata Soeharto tiba-tiba, “Anda baru dari Singapura. Apa pendapat Anda?”
Kabayan terkejut ditanya langsung. “Eh… Pak Presiden, berdasarkan yang saya lihat, LKY memilih jalan yang sulit di awal untuk hasil jangka panjang. Meski boleh dibilang unpopular.”
“Maksudnya?”
“LKY investasi massif di pendidikan dan industri, meski rakyat Singapura hidup pas-pasan dalam 10 tahun pertama. Tapi hasilnya, mereka sekarang makmur.”
Soeharto menatap Kabayan lekat-lekat. “Tapi Singapura cuma 2 juta orang, Saudara. Indonesia 120 juta. Kalau saya ambil kebijakan tidak disukai rakyat, bisa chaos. Saya baru berkuasa, legitimasi masih lemah.”
Widjojo menginterupsi, “Pak Presiden, jika boleh saya tambahkan… kita memang tidak bisa copy-paste model Singapura. Tapi prinsip investasi jangka panjang dalam SDM dan industri tetap valid.”
Soeharto kembali ke kursinya, menatap kedua chart di papan tulis. Momen ini, Kabayan sadar, adalah turning point sejarah Indonesia.
“Baik,” kata Soeharto akhirnya. “Kita ambil kombinasi. Jangka pendek: stabilisasi dengan ekspor SDA. Jangka panjang: industrialisasi bertahap. Tapi prioritas utama: stabilitas politik dan ekonomi.”
Scene Flashforward: 1973 – Oil Boom Decision
Tiba-tiba scene berubah. Kabayan sekarang berada di ruang rapat yang sama, tapi sudah tahun 1973. Soeharto tampak lebih mature, mengenakan jas batik, dengan para menteri yang sudah familiar: Widjojo, Ali Wardhana, Ibnu Sutowo (Pertamina), dan beberapa wajah baru.
Di meja tersebar laporan tentang oil boom akibat krisis Yom Kippur. Harga minyak naik dari $3 ke $12 per barrel—windfall yang luar biasa untuk Indonesia.
“Pak Presiden,” kata Ibnu Sutowo dengan antusias, “ini berkah dari Tuhan. Pendapatan minyak kita naik 400%. Kita bisa bangun apa saja!”
Widjojo terlihat lebih hati-hati. “Pak, ini memang berkah, tapi kita harus bijak mengelolanya. Kalau semua uang minyak dipakai untuk konsumsi, kita tidak membangun kemampuan jangka panjang.”
Ali Wardhana menambahkan, “Saya usul kita ikuti model Norwegia atau Alaska: sebagian besar revenue minyak diinvestasikan dalam sovereign wealth fund dan pendidikan.”
Tapi Ibnu Sutowo tidak setuju. “Pak, rakyat Indonesia masih miskin. Kita harus bangun infrastruktur massal: jalan, listrik, telepon. Itu prioritas.”
Soeharto menimbang kedua pendapat. “Bagaimana dengan industrialisasi yang kita rencanakan 1967?”
Widjojo menjawab dengan nada prihatin, “Pak, dengan oil boom ini, nilai tukar rupiah menguat. Ekspor manufaktur kita jadi tidak kompetitif. Ini Dutch Disease yang kami khawatirkan.”
“Jadi apa solusinya?”
“Kita harus tetap fokus pada industrialisasi, Pak. Gunakan sebagian revenue minyak untuk subsidi industri strategis, pendidikan teknik, dan R&D.”
Tapi Ibnu Sutowo menggeleng. “Pak Presiden, industri itu berisiko. Minyak sudah pasti menguntungkan. Kenapa tidak kita maksimalkan sektor ini dulu?”
Keputusan Kedua yang Menentukan
Soeharto akhirnya memutuskan: “Kita gunakan oil money untuk pembangunan infrastruktur massal. Rakyat harus merasakan perbaikan hidup. Industrialisasi bisa kita kejar nanti.”
Kabayan melihat Widjojo menghela napas dalam-dalam. Keputusan ini, ia tahu dari sejarah, akan membuat Indonesia tergantung pada minyak dan mengabaikan pembangunan manufaktur selama boom berlangsung.
Scene Flashforward: 1985 – Structural Adjustment Crisis
Scene berubah lagi. Tahun 1985, ruangan yang sama tapi suasana yang berbeda. Harga minyak anjlok dari $35 ke $10 per barrel. Soeharto tampak lelah, rambut sudah memutih, berhadapan dengan krisis ekonomi yang serius.
“Pak Presiden,” kata Ali Wardhana dengan laporan tebal, “kita harus melakukan penyesuaian struktur. Devaluasi rupiah, kurangi subsidi, fokus pada ekspor non-migas.”
Widjojo menambahkan, “Pak, ini akibat dari ketergantungan pada minyak. Sekarang kita harus mulai industrialisasi dengan terpaksa.”
“Apa yang direkomendasikan World Bank?” tanya Soeharto.
“Export-oriented industrialization, Pak. Seperti yang dilakukan Korea dan Taiwan 20 tahun lalu. Tapi kita sudah terlambat.”
Soeharto menatap kosong. “Apakah masih bisa dikejar?”
“Bisa, Pak. Tapi butuh political will yang kuat. Kita harus berani konfrontasi dengan konglomerat yang sudah nyaman dengan sistem sekarang.”
Refleksi: Perbandingan dengan LKY
Saat scene kembali ke tahun 2025, Kabayan duduk dengan Soeharto tua di taman Istana. Soeharto yang sudah renta ini berbeda dengan yang muda dan penuh determinasi di tahun 1967.
“Saudara Kabayan,” kata Soeharto dengan suara parau, “setelah melihat perjalanan Lee Kuan Yew, apa penilaian Anda tentang pilihan yang saya buat?”
Kabayan merasa berat untuk menjawab. “Pak, dengan respect yang tinggi… mungkin Bapak terlalu memprioritaskan stabilitas jangka pendek dibanding transformasi jangka panjang.”
Soeharto mengangguk sedih. “Ya, saya tahu. Lee berani ambil risiko politik untuk gains ekonomi jangka panjang. Saya lebih mengutamakan stabilitas politik untuk legitimasi kekuasaan.”
“Tapi kenapa, Pak?”
“Indonesia bukan Singapura, Nak. Singapura homogen, kecil, mudah dikontrol. Indonesia heterogen, besar, mudah chaos. Satu kebijakan tidak populer bisa memicu disintegrasi.”
Kabayan memahami dilema yang dihadapi Soeharto. “Tapi apakah tidak ada jalan tengah, Pak?”
“Ada. Harusnya saya lebih berani investasi di pendidikan dan industri saat oil boom. Harusnya saya tidak biarkan konglomerat menguasai ekonomi. Harusnya saya bangun meritokrasi seperti LKY, bukan sistem loyal-based.”
Lesson 1: Resource Curse vs Resource Blessing
Soeharto menunjukkan foto tambang minyak Caltex di Riau tahun 1970-an. “Ini berkah sekaligus kutukan, Nak. Minyak memberikan pendapatan instant, tapi membuat kita malas membangun kemampuan manufacturing.”
“Lalu bagaimana seharusnya, Pak?”
“Lihat Norwegia. Mereka dapat oil boom yang sama dengan kita di tahun 1970-an. Tapi mereka taruh sebagian besar revenue di sovereign wealth fund, tetap fokus pada industri dan pendidikan. Sekarang mereka negara paling makmur di dunia.”
“Kenapa Indonesia tidak mencontoh model itu?”
Soeharto tersenyum getir. “Karena tekanan politik jangka pendek. Rakyat ingin perbaikan segera, konglomerat ingin profit instant, militer ingin anggaran besar. Mana ada yang mau dengar tentang investasi jangka panjang.”
Lesson 2: Crony Capitalism vs State-Guided Capitalism
“Pak, kenapa sistem konglomerat Indonesia berbeda dengan chaebol Korea?”
Soeharto merenung sejenak. “Chaebol Korea dibangun untuk bersaing global, dengan target eksport dan teknologi transfer. Konglomerat Indonesia dibangun untuk menguasai pasar domestik, dengan proteksi dan monopoli.”
“Apa yang membuat perbedaan itu?”
“Korea tidak punya sumber daya alam, jadi mereka terpaksa kompetitif. Indonesia punya SDA berlimpah, jadi konglomerat bisa hidup dari rente, tidak perlu inovasi.”
“Tapi bukankah Bapak bisa memaksa mereka untuk kompetitif?”
“Bisa. Tapi mereka adalah pilar politik saya. Kalau saya paksa terlalu keras, mereka bisa berontak. Lee Kuan Yew lebih berani karena dia tidak bergantung pada business elite untuk legitimasi.”
Lesson 3: Education Investment vs Infrastructure Spending
Soeharto menunjukkan foto pembangunan jalan trans-Sumatera di tahun 1980-an. “Lihat ini. Saya bangga dengan pembangunan infrastruktur fisik era saya. Tapi sekarang saya sadar, investasi terbesar seharusnya di human capital.”
“Maksudnya, Pak?”
“Korea dan Taiwan investasi 20% GDP untuk pendidikan sejak 1960-an. Indonesia cuma 2-3%. Mereka fokus pada science dan engineering, kita pada administrasi dan hukum.”
“Apakah tidak bisa keduanya?”
“Bisa, kalau kita tidak keburu menghabiskan oil money untuk proyek-proyek prestisius. Harusnya saya bangun universitas teknik di setiap provinsi, bukan candi Borobudur restoration atau stadion olahraga.”
Lesson 4: Meritokrasi vs Loyalty-Based System
“Pak, sistem birokrasi era Orde Baru kan dikenal disiplin dan efektif?”
Soeharto menggeleng. “Disiplin, ya. Efektif untuk eksekusi, ya. Tapi tidak inovatif. Karena promosi berdasarkan loyalitas, bukan kompetensi.”
“Bedanya dengan Singapura?”
“LKY promosikan orang berdasarkan merit examination dan performance review. Saya promosikan berdasarkan kedekatan personal dan loyalitas politik. Hasilnya: birokrasi saya stabil tapi tidak adaptif.”
“Apakah tidak bisa diubah?”
“Sulit. Sistem loyalty-based sudah mengakar, jadi kultur. Yang tidak loyal dianggap berbahaya untuk stabilitas. Padahal, yang paling berbahaya adalah ketika semua orang takut berpikir kritis.”
Lesson 5: Political Opposition vs Controlled Competition
“Pak, LKY juga otoriter, tapi kenapa hasilnya berbeda?”
“LKY otoriter dalam politik, tapi kompetitif dalam ekonomi. Dia biarkan oposisi politik terbatas, tapi paksa semua sektor ekonomi untuk compete.”
“Sementara Indonesia?”
“Saya kontrol politik dan proteksi ekonomi. Akibatnya: tidak ada tekanan untuk improve, baik di politik maupun ekonomi.”
“Apakah tidak berbahaya membuka kompetisi?”
“Bahaya jangka pendek, menguntungkan jangka panjang. Kompetisi memaksa semua pihak untuk inovasi dan efisiensi. Proteksi membuat semua pihak comfortable dengan mediocrity.”
Epilog: The Indonesian LKY Who Never Was
Saat senja mulai tiba, Soeharto mengajak Kabayan ke teras yang menghadap Jakarta modern. Skyline yang dipenuhi gedung tinggi, kemacetan yang padat, dan hiruk-pikuk ibukota yang tak pernah tidur.
“Nak, Jakarta sekarang sudah megah. Tapi apakah ini pembangunan yang berkelanjutan?”
Kabayan menatap pemandangan yang familiar namun kini terasa berbeda. “Pak, jujur, Indonesia sekarang masih menghadapi masalah yang sama: ketergantungan pada komoditas, konglomerat yang tidak inovatif, birokrasi yang loyal-based.”
“Ya, karena fondasi yang saya bangun salah. Seharusnya saya ikuti model LKY: investasi manusia, meritokrasi, kompetisi, dan transformasi struktural.”
“Tapi Pak, Bapak juga berhasil menstabilkan Indonesia dan membangun fondasi ekonomi modern.”
Soeharto tersenyum sedih. “Stabilitas tanpa transformasi adalah stagnasi yang nyaman. LKY memberikan ketidaknyamanan jangka pendek untuk kemakmuran jangka panjang. Saya memberikan kenyamanan jangka pendek yang berujung pada middle-income trap.”
Final Reflection: What Indonesia Could Have Been
“Kabayan,” kata Soeharto di akhir pertemuan, “jika ada yang bertanya apa perbedaan antara saya dan LKY, jawabnya sederhana: dia membangun negara untuk future generations, saya membangun rezim untuk political survival.”
“Apakah masih ada harapan untuk Indonesia, Pak?”
“Selalu ada, asal belajar dari kesalahan masa lalu. Indonesia 2045 masih mungkin, tapi harus berani mengambil jalan yang sulit: transformasi struktural, meritokrasi sejati, dan investasi human capital.”
Soeharto berdiri, mengisyaratkan audiensinya sudah berakhir. “Sampaikan pada generasi sekarang: jangan ulangi kesalahan saya. Jangan pilih zona nyaman yang membawa pada stagnasi. Beranilah seperti LKY: difficult choices for long-term gains.”
Catatan Terakhir dari Pertemuan Dua Era
Dalam perjalanan pulang, Kabayan merenungkan kontras yang menyakitkan antara Soeharto dan LKY. Keduanya authoritarian leaders dengan kekuasaan absolut, awal yang sulit, dan window of opportunity yang sama. Tapi hasilnya sangat berbeda.
LKY membangun institusi yang bertahan lama setelah dia pergi. Soeharto membangun sistem yang ambruk bersama dengan kejatuhannya. LKY investasi di future capabilities. Soeharto eksploitasi sumber daya yang dimiliki. LKY prioritaskan performance over loyalty. Soeharto prioritaskan loyalty over performance. LKY berani bayar political cost untuk economic gains. Soeharto hindari political cost meski merugikan ekonomi jangka panjang.
Yang paling menyedihkan: Indonesia sebenarnya punya advisor sebaik atau bahkan lebih baik dari LKY—Berkeley Mafia yang merupakan world-class economists. Tapi sistem yang dibangun tidak memungkinkan mereka menjalankan transformasi struktural secara konsisten.
The Ultimate Question
Pertanyaan yang menghantui Kabayan—dan seharusnya menghantui setiap warga Indonesia: apakah Indonesia pasca-Soeharto sudah belajar dari kesalahan masa lalu? Ataukah kita masih mengulangi pola yang sama—prioritaskan stabilitas jangka pendek, hindari transformasi yang menyakitkan, dan berharap bisa maju tanpa mengorbankan comfort zone?
Soeharto sudah memberikan diagnosis yang jujur tentang kegagalannya. LKY sudah memberikan blueprint untuk success.
Yang tersisa adalah pertanyaan: apakah Indonesia 2025-2045 akan menjadi Singapore yang never was, atau Indonesia yang never learned?
Wallahu A’lam bish-Shawab.
“The difference between a statesman and a politician: a statesman thinks about future generations, a politician thinks about the next election.” —Reflection from the Indonesian LKY Who Never Was
Catatan Kabayan: Sejarah tidak pernah mengulang dirinya persis, tapi pola kegagalan bisa terulang jika kita tidak belajar dari masa lalu.